Selasa 06 Mar 2018 13:50 WIB

Mu'ti: Paksa Lepas Cadar Bisa Dimaknai Memaksakan Keyakinan

Kebijakan antiradikalisme harus berlaku untuk semua.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Agus Yulianto
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah - Abdul Mu'ti
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah - Abdul Mu'ti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta akan melarang mahasiswinya mengenakan cadar (penutup muka) dalam aktivitas belajar mengajar di dalam kampus. Bahkan, pihak kampus juga akan memecat mahasiswi tersebut jika tidak bersedia melepas cadar setelah melalui proses pembinaan.

Sekjen Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu'ti, mengatakan, selama ini terdapat perbedaan pendapat dan persepsi soal cadar. Sebagian kalangan mengidentikkan cadar dengan radikalisme. Pandangan itu, umumnya dipengaruhi oleh pemberitaan media, di mana banyak tokoh radikal dan pelaku terorisme isterinya bercadar.

Namun demikian, menurut Mu'ti, pandangan itu tidak sepenuhnya benar. Karena banyak dari mereka yang bercadar adalah kelompok moderat yang berpikiran dan berpandangan maju.

Sementara dalam konteks pembinaan mahasiswa, dia mengatakan, hal itu merupakan otoritas pimpinan masing-masing perguruan tinggi. Dikatakannya, rektor dan pimpinan perguruan tinggi memiliki tugas dan tanggung jawab dalam pembinaan mahasiswa dalam berbagai aspek, baik akademik maupun non-akademik. Sementara norma dan aturan berbusana merupakan bagian dari kebijakan non-akademik.

Mu'ti menilai, pembinaan terhadap mereka yang bercadar dikaitkan dengan pencegahan radikalisme tidaklah menjadi masalah. Namun, kata dia, kebijakan antiradikalisme harus berlaku untuk semua. Pasalnya, banyak pula kelompok radikal yang tidak bercadar dan tidak berjenggot panjang.

"Tetapi, kalau pembinaan dimaksudkan agar mereka melepas cadar itu bisa jadi masalah. Batasan aurat wanita di kalangan ulama berbeda-beda. Memaksa melepas cadar bisa dimaknai memaksakan keyakinan," kata Mu'ti, saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (6/3).

Karena itulah, Mu'ti mengatakan, mahasiswi yang bertahan memakai cadar karena keyakinan merupakan hak yang harus dihormati. Namun, karena kampus melarang memakai cadar, maka mereka juga harus mematuhi aturan. Dalam hal ini, ia menekankan konteks untuk tidak mematuhi aturan itu bukan karena radikal atau menyalahi ajaran Islam.

Dia mengatakan, pelarangan cadar bukan satu-satunya diberlakukan di UIN Yogyakarta. Di beberapa UIN juga terdapat larangan bercadar. Kebijakan itu, kata dia, merupakan bagian dari pembinaan busana mahasiswa.

Selain bercadar, beberapa kampus UIN juga melarang mahasiswa berbusana terlalu ketat. Beberapa bahkan ada yang melarang mahasiswi memakai celana panjang dan jeans. Karena itu, dia mengatakan, konteksnya adalah diaturan berbusana bagi mahasiswa.

Karena konteksnya mematuhi aturan, kata dia, maka mahasiswi yang berpakaian ketat juga bisa dikeluarkan. Hal yang sama juga bisa berlaku bagi mereka yang tidak membayar SPP, melakukan perbuatan amoral, tidak mengikuti kuliah, dan bentuk-bentuk pelanggaran lainnya.

"Sekali lagi, sepanjang konteksnya untuk penegakkan aturan dan disiplin, pimpinan perguruan tinggi bisa melakukan pembinaan khusus, bahkan mengeluarkan. Tapi, kalau bercadar dianggap radikal, itu akan menjadi masalah," tambahnya.

Sebelumnya, Rektor UIN Suka Yogyakarta, Yudian Wahyudi, mengatakan, pihaknya akan membentuk tim konseling yang terdiri dari lima dosen di setiap fakultas. Mereka akan memberikan arahan dan pembinaan terhadap mahasiswi bercadar. Jika melalui tujuh tahap pembinaan mahasiswi itu masih tetap bercadar, pihak kampus akan meminta mereka mengundurkan diri dari kampus.

Pelarangan itu didasarkannya atas tuduhan bahwa ideologi radikal berkembang di kalangan mahasiswi bercadar. Padahal, di kampus itu sendiri hanya terdapat 42 mahasiswi yang bercadar.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement