Selasa 06 Mar 2018 16:32 WIB

Negara-Negara Teluk Pertimbangkan Akhiri Boikot Qatar

Pelonggaran pembatasan sipil jadi langkah awal capai kesepakatan yang luas.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
Kota Doha, Qatar.
Foto: EPA
Kota Doha, Qatar.

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Negara-negara Teluk sedang mempertimbangkan rencana untuk memecahkan kebuntuan mengenai boikot terhadap Qatar. Kedua belah pihak akan dibujuk untuk menyetujui pelonggaran pembatasan sipil sebagai langkah awal untuk mencapai kesepakatan yang lebih luas.

Rencana tersebut mungkin akan mengarah pada akhir boikot yang dilakukan oleh Arab Saudi, Bahrain, Mesir, dan Uni Emirat Arab (UEA) selama sembilan bulan ini. Berakhirnya boikot akan membuat kedua belah pihak kembali memperbolehkan warga negara mereka saling bepergian dengan bebas.

Keempat negara itu juga akan mengakhiri blokade udara yang selama ini telah mencegah pesawat Qatar mendarat dan terbang di wilayah udara mereka. Sebanyak 10 ribu warga Teluk telah terpengaruh oleh blokade ini.

Perselisihan dengan Qatar kemungkinan menjadi salah satu topik utama dalam diskusi antara Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman, dan Perdana Menteri Inggris Theresa May. Kedua pemimpin tersebut akan bertemu di London pada Rabu (7/3).

Inggris sebelumnya telah mendesak Arab Saudi untuk mencabut blokade yang dinilai telah merusak perekonomian di seluruh Teluk itu. Blokade tersebut juga tidak membuat Qatar menyerah atau melakukan perubahan rezim.

Para pemimpin Arab Saudi dan UEA telah mendesak pihak barat untuk tidak menganggap boikot ini sebagai sebuah perseteruan keluarga antara negara-negara Teluk. Mereka ingin boikot ini dianggap sebagai langkah serius untuk melawan dugaan bahwa Qatar telah mendukung gerakan ekstremis di Timur Tengah, termasuk Hizbullah, Ikhwanul Muslimin, dan Hamas.

Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Adel al-Jubeir, mengatakan mereka tidak menginginkan perselisihan ini diselesaikan oleh siapapun kecuali oleh negara-negara Teluk. Menurutnya, tekanan dari boikot tersebut akan memaksa Qatar untuk mengubah pendekatannya dalam mendanai terorisme.

AS menginginkan perselisihan tersebut berakhir karena kekhawatir Qatar yang kaya raya akan menjadi lebih dekat dengan Iran. AS lebih memilih Teluk yang bersatu, yang bersedia menantang Iran atas ambisi nuklir dan kebijakan luar negerinya.

AS memiliki pangkalan militer regional terbesar di Qatar. Menteri Luar Negeri AS, Rex Tillerson, telah mengarahkan pemerintahannya untuk menjauh dari sikap yang mendukung boikot Arab Saudi.

Presiden AS Donald Trump akan memiliki kesempatan untuk menguji fleksibilitas Arab Saudi saat Putra Mahkota Mohammed berkunjung ke Washington setelah kunjungannya ke Inggris pada Rabu (7/3) dan Kamis (8/3) pekan ini.

Dalam upaya untuk meyakinkan barat bahwa Qatar memiliki visi alternatif yang koheren untuk Timur Tengah, emir Qatar, Tamim bin Hamad al-Thani, telah memiliki rencana untuk Timur Tengah. Rencana kooperatif dan stabil ini dinilai akan menyaingi rencana Mohammed.

Qatar mengeluarkan pakta keamanan yang tidak hanya memasukkan negara-negara Teluk, tapi juga negara-negara lain di wilayah tersebut. Rencana ini dimaksudkan untuk melawan kebijakan luar negeri adventurat unilateral Arab Saudi.

Kepala komunikasi emir, Sheikh Saif bin Ahmed al-Thani, mengatakan kepada Guardian, pakta tersebut akan menjadi cara untuk memastikan apa yang terjadi pada Qatar tidak terjadi di tempat lain. Pakta itu akan mewakili dasar koeksistensi, yang didukung oleh mekanisme arbitrase yang mengikat dan ditegakkan oleh badan kolektif wilayah ini.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement