Rabu 07 Mar 2018 05:03 WIB

Poros Baru Capres 2019

Partai-partai masih pecah soal poros baru ini, apakah diperlukan atau tidak.

Rep: Dessy Suciati Saputri, Ali Mansur/ Red: Elba Damhuri
Ilustrasi Mencari Pemimpin Umat
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Ilustrasi Mencari Pemimpin Umat

REPUBLIKA.CO.ID Poros baru untuk pencalonan presiden pada pilpres 2019 terus diwacanakan sejumlah kalangan. PDIP sudah mengumumkan Joko Widodo sebagai calon presiden mereka, tetapi partai-partai lain belum menunjukkan tanda-tanda menggelar deklarasi serupa.

Sampai saat ini calon presiden di luar Jokowi yang memiliki elektabilitas tinggi adalah Prabowo Subianto, Ketua Umum Gerindra. Namun, Prabowo menyatakan belum memutuskan apakah akan maju sebagai capres atau tidak. Ia memberi sinya setelah Ramadhan baru akan mengambil keputusan.

Baca Juga: Prabowo di Antara Tiga Pilihan

Kalangan analis politik dan lembaga survei juga mengusulkan adanya poros alternatif sehingga tidak lagi terjadi pengulangan pilpres 2014 pada pilpres 2019. Dalam hal ini, hanya dua capres yang maju, yakni Jokowi versus Prabowo. Itu pun jika Prabowo benar-benar akan maju.

Politikus Partai Amanat Nasional (PAN), Muslim Ayub, mengakui nama Joko Widodo dan Prabowo Subianto masih mendominasi di berbagai survei calon presiden. Namun, menurut dia, peluang munculnya nama-nama baru pada pilpres 2019 mendatang masih terbuka.

PAN sudah memutuskan untuk mengusung ketua umumnya, Zulkifli Hasan (Zulhas), untuk maju menjadi calon dalam pilpres 2019. Karena itu, partai dan seluruh kader saat ini fokus menyosialisasikan keputusan tersebut. PAN belum membicarakan sosok yang dianggap tepat untuk dipasangkan. Sejauh ini masih sebatas kriteria umum saja.

Muslim menambahkan, jika dilihat dari ceruk pemilih maka, menurut dia, pasangan calon yang diusung haruslah merepresentasikan Jawa dan luar Jawa. Jawa yang dimaksud Muslim adalah calon yang berasal dari suku Jawa. Sementara, luar Jawa adalah Sumatra. Dua pulau ini memiliki jumlah penduduk yang besar.

Sosok seperti Gatot Nurmantyo dan Zulkifli Hasan bisa dipertimbangkan untuk diusung sebagai pasangan capres/cawapres. Zulkfli Hasan, menurut Muslim, bukan tokoh baru di panggung politik Tanah Air. Sebelum menjadi ketua umum partai, Zulkifli Hasan pernah menjabat sebagai sekjen partai.

"Pak Zulhas selain pernah di legislatif, beliau pernah menjadi menteri, punya pengelaman dalam bidang pemerintahan," ujar Muslim.

Gatot Nurmantyo, jelas dia, merupakan seorang militer yang mempunyai visi kebangsaan yang sangat maju. Seorang tentara yang taat dan memiliki kedekatan dengan kelompok masyarakat Muslim. Di luar itu, Gatot juga dikenal luas oleh masyarakat Indonesia.

"Saya kira memasangkan kedua tokoh ini, untuk dimajukan sebagai pasangan calon pada pilpres mendatang, bukan sesuatu yang tidak mungkin. Keduanya memiliki keunggulan dan nilai lebih yang bisa menjadi magnet elektoral," kata Muslim.

Demokrat: Belum saatnya poros baru

Partai Demokrat termasuk yang masih belum melirik pembentukan poros baru untuk menghadapi pemilihan presiden 2019. Demokrat menilai kondisi politik di Indonesia masih sangat dinamis.

Ketua Komando Tugas Bersama Demokrat untuk Pemenangan Pemilu 2019 Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menilai hal ini menyulitkan Demokrat untuk segera menentukan arah koalisi yang akan dilakukan. Agus menilai perhitungan atau kalkulasi untuk menentukan koalisi masih terus dilakukan hingga saat ini oleh sejumlah partai politik.

"(Poros ketiga) sekali lagi, terlalu dini untuk menentukan hari ini walaupun tinggal empat bulan. Tetapi, sekali lagi, cairnya, dinamisnya politik Indonesia kali ini menyulitkan menentukan kita secara konklusif hari ini terhadap sesuatu yang masih mungkin terjadi di empat bulan ke depan," kata Agus setelah menyambangi Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka, Selasa (6/3).

Lebih lanjut, terkait pertemuan dengan sejumlah tokoh maupun ketua umum partai politik, Agus menilai langkah itu penting dilakukan untuk membangun komunikasi bersama. Kendati demikian, meski ia telah bertemu dengan sejumlah tokoh penting, Agus mengatakan, Demokrat masih belum memutuskan koalisi yang akan digandengnya.

Terkait pertemuannya dengan Jokowi, Agus mengaku tak membahas pencalonan wakil presiden untuk Pemilu 2019. Menurut dia, keduanya hanya membahas terkait penyelenggaraan demokrasi yang sehat dan aman.

Dalam berpolitik, ia berharap agar tak ada politik praktis. Pelaksanaan demokrasi, kata dia, bertujuan untuk melahirkan gagasan sehingga tak dirusak oleh politik praktis. "Jangan sampai terbelenggu politik praktis jangka pendek. Kita harus memahami, demokrasi bukan tujuan akhir, tetapi upaya untuk melahirkan gagasan," kata Agus.

Menurut AHY, keduanya pun berharap agar pelaksanaan pemilu ini dapat berjalan secara demokratis, aman, dan juga lancar. Ia juga mengatakan, tak mudah bagi Jokowi sebagai capres kuat di pilpres 2019 untuk membangun koalisi dan juga menentukan pasangan cawapresnya.

Dibutuhkan berbagai pertimbangan untuk menentukan pasangan calon wapres yang tepat. "Kita tahu Presiden jadi kandidat terkuat di pilpres 2019, tapi tentu tidak semudah atau sesederhana yang dibayangkan untuk membangun koalisi atau dalam menentukan siapa yang menjadi pasangan, membutuhkan berbagai pertimbangan beliau," kata Agus.

Poros baru sangat mungkin muncul

Pengamat komunikasi politik dari Universitas Brawijaya, Malang, Anang Sudjoko, mengatakan, pilpres 2019 sangat memungkinkan munculnya poros baru. Salah satunya adalah yang dimotori oleh Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang saat ini belum menentukan arah. Akan tetapi, poros alternatif ini belum bisa menandingi koalisi pengusung Presiden Jokowi.

"Namun, saya tidak yakin poros baru yang dimotori dua parpol ini bisa mengimbanginya. Karena magnet Joko Widodo sebagai calon presiden semakin kuat dengan komunikasi politiknya dengan partai-partai baru," kata Anang.

Apabila dua partai ini tetap membuat poros baru, mereka harus menggugah kembali kekuatan Koalisi Merah Putih yang loyalis untuk memunculkan kekuatan baru. Bahkan, jika Partai Bulan Bintang turut bergabung ke dalam poros ini bakal memberikan kontribusi yang signifikan secara emosional religius.

Belum munculnya kandidat capres dari beberapa parpol bukan karena mereka tidak memiliki sosok yang diusung. Sebenarnya, mereka sudah mengantonginya, tetapi mereka harus berpikir strategi dalam rangka mendapatkan capres yang andal. Hal itu dilakukan mereka agar tidak memunculkan resisten di beberapa parpol yang diajak berkoalisi.

Adanya kemungkinan munculnya tiga poros dirasa masih sangat terbuka karena masih ada sekitar lima partai yang belum menentukan arah koalisi, seperti Demokrat, Gerindra, PKS, PAN, dan PKB.

Politikus PKB, Lukman Edy, mengatakan, terbentuknya poros partai Islam bisa saja terjadi jika partai-partai Islam di luar PPP (yang telah lebih dulu mendukung Jokowi) yang belum menentukan arahnya, seperti PKB, PAN, PKS, dan PBB, dapat bergabung membentuk poros partai Islam. "Ada psikologi emosionalnya yang bisa membuat kesepakatan itu. Walaupun sulit, tapi yang namanya peluang tetap ada," kata Lukman.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti, menilai secara proporsional presidential treshold, yaitu syarat pengusungan calon presiden sebesar 20 persen suara nasional, poros Islam bisa dibentuk. Untuk figur yang kemungkinan diusung, Ray memprediksi tokoh yang memiliki peluang adalah Ketua Umum PKB Muhaimim Iskandar dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan.

Sekjen Partai Bulan Bintang (PBB), Afriansyah Ferry Noer, menyambut baik terkait peluang adanya poros Islam tersebut. Menurut dia, poros tersebut dinilai baik dalam memberikan alternatif kepada rakyat untuk memberikan pilihan selain Jokowi dan Prabowo.

Meskipun saat ini PBB tidak memiliki kursi di DPR, Afriyansyah mengatakan, PBB mengaku mengantongi 2 juta suara di pemilihan legislatif 2014 lalu. Apalagi, PBB memiliki tokoh yang piawai dan negarawan yang mampu memperbaiki bangsa ini.

Selain Gatot, nama seperti Anies Baswedan, TGB Bajang (TGB Zainul Majdi), Jusuf Kalla, dan lainnya masuk ke dalam radar calon presiden atau cawapres.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement