REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Direktur Intelijen Nasional AS Dan Coats mengaku sangat mewaspadai tawaran perundingan dengan Korea Utara (Korut). Menurutnya, Washington harus mengetahui lebih jauh kesediaan Korut dalam mengadakan pembicaraan dengan AS mengenai denuklirisasi.
"Harapan akan selalu ada, tapi kita perlu belajar lebih banyak mengenai rencana perundingan ini, dan IC (komunitas intelijen) akan terus melakukan penilaian untuk dapat dibandingkan dengan situasi di Korut. Saya tahu kita akan berbicara tentang masalah itu," kata Coats di hadapan Komite Angkatan Bersenjata Senat AS, Selasa (6/3).
Direktur Badan Intelijen Pertahanan AS Letnan Jenderal Robert Ashley menambahkan, dia belum merasa optimistis dengan rencana perundingan AS dan Korut. Dia mengaku masih ingin mengetahui lebih banyak mengenai rencana ini. "Saat ini saya tidak merasa optimistis. Kita akan melihat bagaimana rencana ini akan berjalan," kata Ashley.
Meski demikian, Presiden AS Donald Trump memberikan tanggapan berbeda mengenai hal tersebut. Ia mengatakan ia melihat kemungkinan adanya kemajuan setelah Korea Selatan (Korsel) mengatakan Korut bersedia mengadakan pembicaraan dengan AS mengenai denuklirisasi.
"Kemungkinan ada kemajuan yang akan dicapai dalam pembicaraan dengan Korea Utara. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, upaya serius dilakukan oleh semua pihak yang terkait. Dunia sedang menonton dan menunggu. Bisa jadi ini harapan palsu, tapi AS siap untuk mengupayakan di kedua arah! " tulis Trump di akun Twitter pribadinya.
Pada Selasa (6/3), Korsel juga mengatakan Korut telah bersedia menunda uji coba rudal dan nuklir sementara. Hal ini disampaikan Kepala delegasi Korsel Chung Eui-yong yang telah bertemu dengan pemimpin Korut Kim Jong-un di Pyongyang pada Senin (5/3).
Chung mengatakan kedua Korea sepakat akan melakukan pertemuan puncak pertama mereka setelah lebih dari satu dekade. Pertemuan akan dilakukan pada April mendatang di desa perbatasan Panmunjom.
"Korea Utara memperjelas kesediaannya untuk melakukan denuklirisasi semenanjung Korea dan mengatakan tidak ada alasan untuk mengembangkan program nuklir jika ancaman militer teratasi dan rezimnya aman," kata Chung.
Chung mengatakan, untuk memastikan komunikasi yang erat, kedua Korea akan membuka jalur komunikasi antara Presiden Korsel Moon Jae-in dan Kim Jong-un. Perang antara kedua negara ini pada 1950-1953 diketahui hanya berakhir dengan gencatan senjata, bukan sebuah perjanjian damai.
Pertemuan puncak antar-Korea terakhir dilakukan pada 2007 saat mantan presiden Roh Moo-hyun masih menjabat. Rencana pertemuan puncak kali ini mendapat sambutan hangat dari Korsel, dengan harapan Korut dan AS dapat saling berunding satu sama lain.
Dalam pertemuan dengan delegasi Korsel, Kim Jong-un menyatakan keinginan kuatnya untuk memperbaiki hubungan antar-Korea. Ketegangan antara kedua Korea mereda selama Olimpiade Musim Dingin di Korsel. Kondisi tersebut terlebih setelah Kim Jong-un mengundang Presiden Moon ke Korut, yang merupakan permintaan pertama dari seorang pemimpin Korut kepada seorang presiden Korsel.
Chung mengatakan dia akan pergi ke AS untuk menjelaskan hasil kunjungannya ke Korut. Menurut Chung, dia akan menyampaikan pesan dari Korut langsung ke Presiden AS Donald Trump.
Chung kemudian akan mengunjungi Cina dan Rusia. Sementara Suh Hoon, kepala badan mata-mata Korsel dan anggota delegasi lainnya, akan berangkat ke Jepang.