Rabu 07 Mar 2018 13:57 WIB

Universitas Cambridge Minta Maaf kepada Akademisi Palestina

Moderator diskusi pro-Palestina diganti sesuai pilihan universitas.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
Universitas Cambridge
Foto: planetware.com
Universitas Cambridge

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Universitas Cambridge menyampaikan permintaan maaf kepada seorang akademisi Palestina, Ruba Salih, pada Selasa (6/3). Universitas tersebut telah mencegahnya untuk memimpin diskusi mengenai gerakan Boikot, Divestasi, Sanksi (BDS) pada November tahun lalu.

Salih dari School of African and Oriental Studies (SOAS) di London diminta berhenti saat sedang menjadi moderator diskusi yang diselenggarakan oleh aktivis pro-Palestina itu. Ia kemudian digantikan oleh akademisi lain yang dipilih oleh universitas.

Keputusan tersebut memicu kemarahan di kalangan aktivis. Mereka menganggap pihak universitas telah berusaha mengganggu diskusi mengenai gerakan BDS Israel. Ratusan akademisi dan mahasiswa juga menandatangani sebuah surat terbuka yang mengecam sikap universitas tersebut.

Cambridge mengatakan pihaknya tidak bermaksud untuk mengganti moderator dalam diskusi itu. Universitas tersebut mengaku sangat mengerti jika hal itu telah menimbulkan kekhawatiran terkait dengan kebebasan akademik.

"Sikap universitas ini ditunjukkan kepada Dr Salih dengan cara yang tidak sesuai terhadap akademisi yang dihormati dengan pengalaman lebih dari 15 tahun dalam memimpin diskusi secara seimbang dan ilmiah," kata universitas tersebut dalam sebuah pernyataan, dikutip Aljazirah.

"Oleh karena itu kami ingin meminta maaf kepada Salih karena telah menggantinya sebagai moderator, dan kami menyadari tidak ada bukti yang mendukung pandangan bahwa dia tidak membawa debat untuk berjalan secara demokratis, sehingga semua pandangan dapat diungkapkan," kata pernyataan itu.

Salih mengatakan ia menyambut permintaan maaf tersebut. Menurutnya, permintaan ini akan memastikan pentingnya melestarikan kebebasan akademik di universitas. "Keputusan untuk meminta maaf ini sangat penting bagi saya, karena saya adalah seorang akademisi yang terhormat yang telah mengajar dan memimpin diskusi selama 15 tahun," kata Salih.

"Ini adalah pengakuan penting, tidak peduli dari mana asal usul atau minat riset Anda, Anda adalah seorang akademisi yang mampu membiarkan orang lain menyampaikan sejumlah sudut pandang," ujarnya.

Di bawah program Prevent, universitas di Inggris memiliki kewajiban hukum untuk menilai risiko dari aktivitas apa pun. Terlebih aktivitas itu dapat menarik orang ke arah ideologi ekstremis. Program tersebut menyatakan, dukungan vokal untuk Palestina merupakan topik yang masih diperdebatkan.

Aktivis dan akademisi telah lama mengeluhkan penerapan program Prevent oleh universitas. Program ini dinilai telah melakukan penyensoran atau pembatasan lainnya yang dilakukan untuk acara pro-Palestina.

Salih mengatakan program tersebut memberikan risiko kebebasan akademik di kampus. "Ada tekanan pada universitas untuk membatasi kebebasan akademis dalam hal isu sentris Palestina, untuk mengizinkan jenis debat tertentu tetapi tidak debat lainnya," kata dia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement