Rabu 07 Mar 2018 14:19 WIB

Proteksionisme Internet Cina Lahirkan Raksasa Teknologi

Pendiri Baidu menjadi miliarder setelah Google menolak taat pada regulasi Cina.

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Nur Aini
Baidu
Foto: AP
Baidu

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Regulasi sensor yang ketat sering dianggap orang luar membebani perusahaan teknologi di Cina. Akan tetapi, perusahaan teknologi di sana justru tumbuh subur meskipun media sosial seperti Facebook, Twitter, Snapchat, Youtube, dan Google tetap tak bisa diakses di sana.

Hal itu juga memicu munculnya raksasa teknologi asal Cina sekelas Tencent Holding Ltd dan Alibaba Holding Ltd yang merupakan dua dari 10 perusahaan dengan valuasi tertinggi di dunia.

Pendiri Baidu Inc, Robin Li, menjadi miliarder setelah Google menolak taat pada regulasi Cina dan Baidu muncul menjawab kebutuhan akan mesin pencari. Meski kini saham Baidu melantai di AS, Li berjanji akan segera melepas sebagiannya ke pasar modal Cina.

Menurut profesor muda spesialis politik Cina dari University of California at San Diego, Victor Shih, hubungan kerja yang dekat dengan Cina merupakan bagian model bisnis untuk perusahaan seperti Tencent. ''Karena perusahaan teknologi asing tak bisa masuk Cina, oligopoli perusahaan teknologi lokal muncul dan membuat mereka harus menjaga kedekatan dengan pemerintah,'' kata Shih, seperti dikutip Bloomberg, Selasa (6/3).

Para petinggi perusahaan teknologi Cina sempat dikabarkan memberi masukan kepada partai dan menunjukkan loyalitas mereka. Sayangnya, sikap itu bisa menjadi bumerang bagi perusahaan. Shih melihat para petinggi perusahaan teknologi harus menyadari dan segera kembali ke posisi mereka.

Presiden AS Donald Trump sudah meminta Cina untuk terbuka terhadap perusahaan-perusahaan AS, bahkan mengancam dengan tarif baja dan aluminium. Indikasi perang dagang pun menguat dan membuat ketua penasihat ekonomi Trump mundur. Bahkan. CEO Facebook Mark Zuckerberg yang menunjukkan foto diri sedang berolahraga di Beijing dan mahir berbahasa Mandirin pun belum mampu melunakkan Cina.

Perusahaan-perusahaan teknologi Cina memanfaatkan dengan baik proteksionisme yang Pemerintah Cina terapkan. Alibaba dan Tencent bahkan menumbuhkan perusahaan rintisan berbasis teknologi baru, mulai dari yang fokus pada bisnis transportasi seperti Didi Chuxing hingga layanan antar makanan Meituang Dianping.

Pada akhir 2017, Cina sudah memiliki 124 unicorn yang valuasi agregatnya mencapai 615,5 miliar dolar AS (sekitar Rp 8.463 triliun). Bentuknya pun variatif, dari yang jelas-jelas tiruan hingga inovasi murni.

''Sepanjang mereka tetap diproteksi di pasar Cina, mereka akan mendominasi dan menggunakan keuntungannya untuk merambah pasar global,'' ungkap Direktur Pelaksana Marbridge Consulting, Mark Natkin.

Perusahaan penyedia layanan internet juga tak bisa lepas dari cengkeraman Pemerintah Cina. Pada 2017 lalu, Cina mengimplementasikan regulasi mengenai bagaimana data disimpan dan dibagikan dan ancaman sanksi jika meretas sistem pertahanan siber.

Agar tak terdepak dari negeri sendiri, Tencent, Alibaba, dan perusahaan teknologi Cina lainnya menghapus konten yang kiranya tidak sesuai regulasi, mulai dari konten porno hingga kritik terhadap partai. ''Untuk mempertahankan kendali, Pemerintah Cina tahu mereka harus memastikan perusahaan teknologi tetap berada dalam operasi mereka,'' kata Natkin.

Menurut Natkin, sejauh ini Cina sudah luar biasa karena bertahan dari pasar terbuka. Namun, ia tidak mengerti mengapa masih banyak orang mengangguk kepada pemimpin yang bisa saja berubah pikiran sewaktu-waktu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement