REPUBLIKA.CO.ID Berbagai organisasi massa Islam mengkritik kebijakan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta yang melarang mahasiswi bercadar. Mereka menilai telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Ketua Umum Jamiat Kheir Husin Alatas menilai langkah UIN Suka Yogyakarta yang diklaim sebagai pembinaan kepada mahasiswi bercadar adalah sebuah diskriminasi. Menurut dia, hal itu kontradiktif dengan UUD 1945.
"Jadi di sini kelihatannya pihak UIN Suka Yogyakarta sudah membuat semacam stigma bahwa mereka yang bercadar itu patut dicurigai berpaham radikal," kata Husin di Jakarta, Selasa (6/3).
Apabila terdapat pelarangan mahasiswi bercadar dengan alasan kecurigaan, hal itu tak sesuai dengan kebebasan HAM yang bebas dan bertanggung jawab. Husin berpendapat, cadar tidak melanggar norma keasusilaan masyarakat.
"Kalau dia punya keyakinan itu, ya silakan selama ia tak melanggar norma kesusilaan, enggak menabrak aturan, enggak menabrak undang-undang, dan lain sebagainya. Itu dilindungi oleh undang-undang," ujarnya menjelaskan.
Lebih lanjut, Husin menganggap, tugas perguruan tinggi bukan untuk mencurigai, melainkan harus melakukan pendekatan yang persuasif. "Jangan ada kecurigaan sehingga menimbulkan perpecahan lagi," katanya.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah Dyah Puspitarini mengatakan, UIN Suka Yogyakarta harus membuktikan jika cadar identik dengan radikalisme. Ia menyarankan agar radikalisme tidak sepenuhnya dihadapi dengan antiradikalisme.
Sebab, hal itu bisa ditangani dengan upaya persuasif. Artinya, memakai cadar apakah berkaitan dengan radikalisme harus ditunjukkan dengan bukti dan fakta yang akurat, terlebih di dalam kampus yang menjunjung tinggi kesadaran ilmiah.
Dyah menyarankan agar mahasiswi bercadar dibina dan diingatkan dengan cara yang persuasif. Dia meminta agar pelarangan mengenakan cadar tidak dilakukan dengan ancaman dan diskriminasi.
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta melakukan pembinaan terhadap 41 mahasiswi yang memakai cadar dalam proses belajar mengajar di kampus. Pembinaan dalam bentuk konseling itu dilakukan agar mahasiswi bersangkutan tidak lagi memakai cadar untuk kepentingan ideologi atau aliran tertentu.
Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof Yudian Wahyudi mengatakan konseling akan dilakukan beberapa kali. Jika mahasiswi bercadar itu telah diberikan konseling selama beberapa kali tetapi tidak ada perubahan, universitas mempersilakan mereka untuk pindah kampus.
Yudian beralasan pemakaian cadar termasuk berlebihan karena dalam hukum Islam ada istilah Ijma' atau kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum dalam agama berdasarkan Alquran dan hadist dalam suatu perkara yang terjadi.
Selain itu, kata dia, dari aspek keamanan, tidak ada yang bisa menjamin mahasiswi bercadar saat menjalani ujian atau tes tertentu adalah benar-benar mahasiswi sesuai dengan identitasnya, karena wajahnya tertutup.
Kebijakan melakukan pembinaan terhadap mahasiswi bercadar itu karena UIN Sunan Kalijaga adalah kampus negeri yang berasaskan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Atas dasar itu, UIN Sunan Kalijaga menolak ideologi atau aliran yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI," kata Yudian.
Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengatakan, selama ini terdapat perbedaan pendapat dan persepsi soal cadar. Sebagian kalangan mengidentikkan cadar dengan radikalisme.