REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Presiden Filipina Rodrigo Duterte cukup yakin dirinya tidak akan diadili di Pengadilan Pidana Internasional (ICC) terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukannya ketika menggelar operasi pemberantasan narkoba.
"Anda tidak bisa mendapatkan yurisdiksi atas saya, tidak dalam sejuta tahun sekalipun. Itulah sebabnya saya tidak menanggapi mereka, itulah yang sebenarnya," ujar Duterte dalam sebuah pidato pada Selasa (6/3) malam waktu setempat.
Ia menekankan hal ini beberapa kali dalam pidatonya. "Percayalah, mereka tidak akan pernah bisa berharap memiliki yurisdiksi atas pribadi saya," kata Duterte.
Awal Fabruari lalu, seorang jaksa ICC telah memulai pemeriksaan pendahuluan atas laporan dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Duterte. Tanpa rasa khawatir, Duterte menyambut pemeriksaan tersebut.
Kelompok HAM internasional Human Rights Watch (HRW) menyambut baik penyelidikan terhadap Duterte oleh ICC. "ICC harus benar-benar melakukan penyelidikan penuh atas dugaan kejahatan ini karena sampai saat ini tidak ada upaya serius untuk menginvestigasi mereka oleh polisi atau jaksa Filipina, apalagi membawa para pelaku yang dicurigai ke pengadilan," kata Wakil Direktur HRW divisi Asia Phil Robertson.
Sebuah laporan yang disusun tokoh oposisi Filipina telah diserahkan ke ICC tahun lalu. Dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa Duterte terbukti bertanggung jawab atas eksekusi mati di luar hukum dan pembunuhan massal ketika mengobarkan kampanye melawan peredaran narkoba.
Gary Alejano, seorang politikus oposisi Filipina mengatakan, diajukannya laporan ke ICC merupakan bukti bahwa klaim mereka memiliki legitimasi. Di sisi lain, diajukannya laporan tersebut akan memberi secercah harapan bagi para korban yang menjadi keganasan Duterte dalam memerangi narkoba.
"Di negara ini orang bingung kemana harus pergi jika anggota keluarganya merasa menjadi korban perang terhadap narkoba. Mereka tidak bisa pergi ke kepolisian karena mereka terlibat, mereka pun tidak bisa pergi ke departemen kehakiman karena sekretaris akan mengatakan tidak ada pembunuhan di luar hukum," kata Alejano awal Februari lalu.
Tidak hanya lembaga atau institusi hukum, parlemen pun tidak akan mau membantu para korban tersebut. "Ketika kami meminta penyelidikan oleh parlemen, kami tidak bisa mendapatkan pendengaran yang tidak memihak karena mereka menutup-nutupi (kesalahan) presiden," kata Alejano.
Rangkaian fenomena ini yang akhirnya mendorong Alejano dan tokoh oposisi lainnya mengajukan laporan tentang kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Duterte ke ICC. "Ada pelanggaran tegas dan terang-terangan terhadap peraturan undang-undang di Filipina saat ini, jadi ICC adalah satu-satunya yang bisa masuk," ujarnya.
Menurut statistik resmi, sekitar 4.000 orang tewas terbunuh oleh aparat keamanan Filipina dalam operasi anti-narkoba sejak Duterte menjabat sebagai presiden. Namun, laporan yang diajukan kelompok oposisi Filipina menyebut jumlah korban mencapai 8.000 orang.