REPUBLIKA.CO.ID, GUATEMALA CITY -- Pemerintah Guatemala mengatakan keputusannya memindahkan kedutaan besarnya di Israel ke Yerusalem sudah tepat. Guatemala mengklaim keputusan ini tidak dapat digugat karena merupakan keputusan berdaulat.
"Kami melakukan hal yang benar sesuai dengan kebijakan luar negeri yang telah Guatemala lakukan terhadap Israel selama 70 tahun terakhir," ujar Menteri Luar Negeri Guatemala Sandra Jovel dalam sebuah sesi konferensi pers, dikutip laman Al Araby, Rabu (7/3).
Jovel mengatakan keputusan negaranya ini tentu tak dapat diintervensi atau digugat. "Ini adalah keputusan yang berdaulat atas kebijakan luar negeri Guatemala," katanya.
Presiden Guatemala Jimmy Morales baru-baru ini mengumumkan akan memindahkan kedutaan besar negaranya di Israel ke Yerusalem pada Mei mendatang. Pemindahan ini akan dilakukan dua hari setelah Amerika Serikat (AS) melakukan hal serupa.
Pada Desember tahun lalu, Presiden AS Donald Trump telah mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Pengakuan ini segera memantik kritik dan protes, khususnya dari negara-negara Arab. Keputusan Trump dinilai telah melanggar berbagai kesepakatan dan resolusi internasional terkait Yerusalem.
Palestina pun menyuarakan protesnya. Sejak AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, Palestina menolak melanjutkan negosiasi atau perundingan damai. Palestina menilai AS tidak lagi menjadi mediator yang netral dan dapat diandalkan karena terbukti membela kepentingan Israel.
Sebagai gantinya Palestina menyerukan dibentuknya mekanisme multilateral internasional guna menyelesaikan konflik dengan Israel. Mekanisme multilateral ini harus melibatkan PBB, Uni Eropa, Rusia, AS, ditambah negara-negara Arab. Dengan demikian, AS tak lagi menjadi satu-satunya mediator dalam penuntasan konflik Palestina dengan Israel.