REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah, Mustofa Nahrawardaya, meminta agar para pelaku penyebar hoaks atau ujaran kebencian tidak disebut sebagai Muslim Cyber Army (MCA). Ia menuturkan, menyebarkan hoaks memang merupakan tindak pidana. Namun, ia meminta agar semua pihak, termasuk kepolisian, tidak menyeret nama Muslim dalam kasus ini.
Karena faktanya, kata dia, para pelaku yang ditangkap polisi mencatut nama MCA. Penyebaran hoaks itu pun menurut Mustofa, bukan dilakukan MCA yang sesungguhnya.
"Jangan pakai kata Muslim untuk menyebarkan hoaks. Sekarang, jangan sebut kata Muslim untuk menyebut para pelaku. Sebut saja pelaku. Jangan menjadi penumpang gelap dalam MCA. Karena ada niat baik jutaan orang masuk dalam MCA, meskipun tidak ada keanggotaannya," kata Mustofa, dalam acara Indonesia Lawyer Club yang ditayangkan di TV One, Selasa (6/3) malam WIB.
Ia menilai ada motif tertentu di balik pihak-pihak yang kerap menyebut kata 'Muslim' dalam pelaku penyebaran hoaks. Karena hal itu, menurut dia, dianggap menyinggung jutaan aktivis MCA yang dengan sukarela membela para ulama. Sedangkan pelaku yang disebut-sebut tergabung dalam kelompok Family MCA yang telah ditangkap pihak kepolisian saat ini berjumlah tujuh orang.
Sejak Pilkada DKI 2014, Mustofa menyebut ada beberapa produsen hoaks yang paling besar, di antaranya @Digembok, @Joxzin_jogja, dan @MustofaNahra. Namun, hingga kini ketiga akun tersebut tidak ditindak apalagi ditangkap polisi.
Menurut dia, akun-akun tersebut merupakan produsen hoaks dan meme hujatan di sosial media. Bahkan, mereka juga menyebar hoaks dengan menyebut Mustofa terlibat dalam Saracen dengan memakai akunnya sendiri. Ia mengaku KTP dan Kartu Keluarganya juga dicuri melalui email.
Karena itulah, ia mengajak semua pihak untuk bersama memperbaiki situasi mulai dari hulu, dari mulai ujaran yang dilontarakan dari aparat dan pemerintah. Ia meminta agar semua pihak saling menghormati agar suasana menjadi tenang.