REPUBLIKA.CO.ID Konferensi tahunan kelompok lobi Israel terkuat di Amerika Serikat (AS), Komite Usulan Publik Amerika-Israel (AIPAC), tahun ini disebut merupakan ajang untuk menegaskan kembali kepentingan AS dan Israel terhadap Palestina. Meski begitu, Israel mencoba mencari sekutu baru pada pertemuan kali ini.
Pengamat Timur Tengah LIPI Smith Alhadar mengatakan, rata-rata konferensi AIPAC menyuarakan deklarasi Trump terhadap Yerusalem sebagai ibu kota Israel, mendukung permukiman Yahudi di wilayah Tepi Barat yang diduduki, menolak kepulangan pengungsi Palestina ke kampung halaman mereka di Israel, dan menolak pembentukan negara Palestina merdeka.
"Lobi-lobi ini yang diambil oleh Trump dan dijadikan salah satu isu utama dalam kampanye kepresidenan AS," ujar Smith, Rabu (7/3).
Ia mengatakan, AIPAC merupakan lobi Yahudi yang paling berpengaruh di AS sehingga sulit bagi AS menolak keinginan kelompok ini. Itu sudah terbukti dengan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
“Yang diundang ada anggota parlemen, kongres, DPR, wakil presiden, dan orang-orang dalam lingkaran Trump untuk ikut berpidato di konferensi. Jadi, ini menegaskan kembali apa yang menjadi kepentingan Israel,” kata Smith.
Ia menjelaskan, AIPAC tahun ini ingin AS mengakui permukiman Yahudi di Tepi Barat merupakan sesuatu yang legal. Selain itu, Israel juga menginginkan adanya penolakan pemulangan 4 juta pengungsi Palestina ke kampung halaman mereka di Israel.
Di saat bersamaan, AIPAC juga mendorong Pemerintah AS menguatkan hubungannya dengan calon pemimpin Arab Saudi Pangeran Muhammad bin Salman. Smith mengatakan, konsep perdamaian yang dilakukan oleh penasihat senior Donald Trump, Jared Kushner, menyebut Yerusalem milik Israel dan sebagian Tepi Barat juga tetap berada di tangan Israel.
Palestina hanya diberikan Jalur Gaza dan sebagian Sinai Utara. “Dan ini didukung oleh Muhammad bin Salman,” kata dia.
Oleh karena itu, penting bagi AIPAC untuk mendorong AS menguatkan hubungan dengan Pangeran Muhammad bin Salman yang juga menyongkong agenda Israel di Timur Tengah, terutama dalam berhadapan dengan Iran dan Palestina.
Hal itu akan membuat Palestina semakin hari semakin lemah karena ujung tombok negara Arab, seperti Mesir dan Arab Saudi, berdiri di belakang Israel sehingga reaksi-rekasi Palestina tidak akan berdampak pada kepentingan Palestina.
Konferensi AIPAC dimulai sejak Ahad (4/3). Terdapat beberapa hal yang diagendakan AIPAC pada konferensi ini. Dilaporkan laman Aljazirah, agenda kunci kongres AIPAC tahun ini adalah mendukung Israel membatasi pengaruh Iran di Timur Tengah. Iran memang dipandang Israel sebagai ancaman terhadap superioritas ekonomi dan militernya di wilayah tersebut.
Sebelumnya, Ketua Konferensi Presiden Organisasi Yahudi Amerika di AS Stephen Greenberg telah mendesak kelompok lobi pro-Israel, AIPAC, mendukung Pangeran Muhammad bin Salman dan pimpinan Uni Emirat Arab dalam memerangi Iran.
Dilansir Aljazirah, Selasa (6/3), Stephen Greenberg mengatakan pada konferensi tahunan yang sedang berlangsung di Washington AS tersebut, dia mengunjungi kedua negara dan didorong oleh para pemimpin UEA untuk mendukung toleransi dan komitmen untuk memerangi terorisme.
Dia juga mendesak pertemuan tersebut untuk mendukung upaya Putra Mahkota Kerajaan Saudi Muhammad bin Salman melakukan transformasi sosial di Arab Saudi. "Perubahan nyata harus didorong," katanya.
Dalam nada tegasnya, Menteri Pendidikan dan Urusan Diaspora Israel Naftali Bennett mengatakan, Israel merupakan negara kuat daripada gabungan semua musuh-musuhnya. Ia menggambarkan, Iran sebagai kepala gurita yang perlu diserang.
Bennett yang merupakan anggota sayap kanan kabinet keamanan Israel juga mengatakan, Israel tidak boleh membiarkan negara lain mengembangkan nuklir. Negaranya harus mencegah Arab Saudi memiliki tenaga nuklir.
Sementara itu, mantan wakil menteri luar negeri Israel Danny Ayalon yang juga berbicara di konferensi tersebut mengatakan, dia memiliki hubungan baik dengan para pemimpin Saudi. Ia mengatakan, Israel memiliki banyak kesamaan dengan negara-negara Teluk, Arab Saudi, UEA, dan Bahrain, terutama dalam melawan kekuatan Iran yang meningkat di wilayah tersebut.
Dalam pertemuannya dengan Presiden AS Donald Trump di sela-sela konferensi AIPAC, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga mengumumkan bahwa Arab Saudi telah memberikan izin kepada Air India untuk terbang di atas wilayahnya untuk rute baru ke dan dari Tel Aviv. Belum ada konfirmasi dari pejabat Saudi atau Air India terkait pernyataan Netanyahu itu.
Arab Saudi sejauh ini belum secara resmi mengakui Israel. Jika Saudi mencabut larangan terbang udara yang telah berjalan selama 70 tahun tersebut, keputusan itu dapat mencerminkan mencairnya hubungan antara Israel dan Kerajaan Saudi. Keduanya merupakan negara sekutu AS dengan keprihatinan bersama mengenai pengaruh Iran di wilayah tersebut.
Bulan lalu, Air India mengumumkan rencana penerbangan tiga kali sepekan ke Tel Aviv di atas tanah Saudi. Namun, Otoritas Umum Penerbangan Sipil di Riyadh saat itu mengatakan, Saudi tidak memberikan izin kepada maskapai tersebut.
El Al Israel Airlines, pembawa bendera negara itu, terbang dengan empat jadwal penerbangan ke Mumbai. Penerbangan memakan waktu tujuh jam karena maskapai harus terbang ke selatan menuju Etiopia lalu ke timur, ke India, untuk menghindari wilayah udara Saudi. Media Israel mengatakan, rute terbang di wilayah Saudi dapat mengurangi waktu tempuh lebih dari dua jam.
(Pengolah: fitriyan zamzami).