REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Memperingati Hari Perempuan Internasional, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan merilis kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang masih terjadi bahkan berkembang di Tanah Air.
Wakil Ketua dan Komisioner Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah mengatakan, Catatan Tahunan (Catahu) 2018 menjadi pendokumentasian berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani baik oleh 237 lembaga negara maupun lembaga masyarakat serta pengaduan yang langsung datang ke Komnas Perempuan. Dari Catahu itu, kata dia, ditemukan fakta tren kekerasan yang berkembang.
Tren kekerasan berkembang sesuai konteks dari tahun-tahun sebelumnya diantaranya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kasus pembunuhan perempuan (femicide), poligami hingga pernikahan anak. Ia menerangkan, peristiwa KDRT disertai dengan terungkapnya kasus pembunuhan perempuan (femicide), yaitu dalam kasus ini pembunuhan terhadap istri. Ini menjadi faktor terjadinya gugat cerai yang dilakukan istri.
"Tingginya cerai gugat istri banyak disebabkan oleh situasi rumah tangga yang tidak aman, diantaranya kekerasan fisik, maraknya poligami, dan perkawinan anak diantaranya kriminalisasi terhadap perempuan yang dikawinkan karena dianggap berzina," ujarnya, Kamis (8/3).
Ia menambahkan, kekerasan terhadap perempuan berbasis siber juga masih terjadi. Jenis kejahatan siber diantaranya cyber grooming yaitu pendekatan untuk memperdaya. Kemudian cyber harrasment yaitu pengiriman teks untuk menyakiti atau menakuti, mengancam, hingga mengganggu. Modus lainnya adalah hacking yaitu peretasan, kemudian konten ilegal. "Ada juga pelanggaran privasi," ujarnya.
Ancaman distribusi foto atau video pribadi juga menjadi salah satu kasus. Kemudian penghinaan/pencemaran nama baik. Terakhir adalah rekrutmen secara daring.
"Dampak dari kejahatan siber ini dapat menjatuhkan hidup perempuan, menjadi korban berulang kali, dan dapat terjadi seumur hidup," katanya. Meski kekerasan ini muncul ke permukaan dengan masif, pelaporan dan penanganan masih kurang.