REPUBLIKA.CO.ID Ada ide untuk membentuk poros baru pada pemilihan presiden (Pilpres) 2019 di luar poros yang sudah dibangun PDIP dan Gerindra-PKS. Poros baru ini diharapkan menampilkan calon presiden alternatif untuk bisa bersaing melawan pasangan Joko Widodo dan pasangan Prabowo Subianto --jika jadi maju sebagai capres.
Wacana memunculkan capres alternatif juga diharapkan muncul dari koalisi parpol Islam. Ada keinginan agar partai-partai Islam membentuk poros baru untuk bisa mengusung capres sendiri. Meski dirasakan sulit terwujud, namun sejumlah nama sudah dimunculkan untuk tampil sebagai capres poros ini seperti Gatot Nurmantyo, Tuan Guru Zainul Majdi, Anies Baswedan, hingga Mahfud MD.
Pertanyaannya, mungkinkah pembentukan poros Islam ini bisa terjadi jika melihat dinamika politik saat ini? Sejumlah kalangan memberikan pandangan berbeda soal ini. Ada yang apatis, ada juga yang optimistis.
Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari, berpendapat, kemungkinan koalisi partai-partai Islam kecil terbentuk. Ada beberapa alasan di balik pesimistisnya pernyataan Qodari ini.
Pertama, Qodari menilai saat ini tidak ada figur santri yang memiliki elektabilitas tinggi untuk Pilpres 2019. Sampai saat ini hanya Jokowi dan Prabowo yang menempati urutan teratas untuk tingkat keterpilihan sebagai calon presiden, yang keduanya berasal dari kalangan nasionalis.
Jokowi masih memimpin elektabilitas capres dengan rata-rata 40-50 persen --meski ada satu lembaga survei yang menempatkannya berada di bawah 40 persen. Prabowo yang juga Ketua Umum Gerindra berada di posisi kedua dengan elektabilitas antara 20-30 persen.
Sementara nama lain seperti Gatot, Anies, Tuan Guru Bajang, hingga Zulkifli Hasan masih jauh di bawah Prabowo. Rata-rata angka elektabilitas mereka di bawah 10 persen, bahkan berkutat di rentang 2-6 persen saja.
Alasan senada disampaikan Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia Kuskrido (Dodi) Ambardi. Sejauh ini, kata dia, elektabilitas para tokoh Islam tadi masih rendah. Sementara, parpol-parpol pasti sangat mempertimbangkan elektabilitas ini untuk mencalonkan seseorang menjadi capres.
"Nama seperti Gatot Nurmantyo, AHY, atau Rizal Ramli secara elektabilitas masih sangat jauh dari Jokowi atau Prabowo," kata Dodi.
Alasan kedua terkait sulitnya muncul capres dari poros Islam, menurut Qodari, terkait dengan faktor kepentingan partai-partai Islam. Jelas sekali, kepentingan partai Islam ini berbeda sehingga memilih jalan masing-masing.
Saat ini PPP sudah menyatakan dukungannya untuk Jokowi, PKS terus merapat dengan Gerindra. Qodari mengatakan, kini tinggal PAN dan PKB yang belum menentukan sikap.
Dengan aturan ambang batas 20 persen, maka PKB dan PAN ini dipastikan akan memilih salah satu koalisi yang sudah ada, Jokowi atau Prabowo. Dengan demikian, kata Qodari, poros koalisi Islam sangat sulit terjadi.
Kalaupun tetap memaksakan untuk bergabung, ia memprediksi, partai-partai Islam ini bisa maju bersama Partai Demokrat yang sampai saat ini masih belum menentukan sikap. Suara Demokrat hanya 10 persen, yang berarti masih membutuhkan 10 persen lagi untuk bisa membentuk koalisi.
Sementara, PKS dan Gerindra juga masih membutuhkan suara satu partai lainnya agar bisa mencapai angka ambang batas bawah Pilpres. Gerindra dan PKS memiliki suara 18 persen, berarti kurang 2 persen lagi.
Persoalan presidential threshold (PT) ini menjadi alasan ketiga sulitnya parpol-parpol Islam membentuk poros baru untuk memajukan capres. Saat ini ada dua poros koalisi yang terbentuk dan mungkin terjadi.
Poros pertama, PDIP dan parpol pendukung pemerintah seperti Golkar, Nasdem, PPP, dan Hanura. Poros kedua, koalisi Gerindra dan PKS. Beberapa partai belum mengidentifikasi diri dalam dua koalisi poros tersebut seperti Demokrat, PAN, dan PKB.