REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkembangan ilmu kedokteran banyak menyisakan pertanyaan besar. Soal sewa rahim, misalnya, bolehkah dilakukan untuk mendapatkan keturunan bagi para pasangan yang telah dinyatakan mandul sama sekali atau sulit memiliki anak?
Seiring dengan penemuan cara fertilasi di luar rahim (in-vitro fertilization), praktik surrogate mother, demikian sering disebut, marak ditemukan di berbagai negara.
Menurut ilmu kedokteran sendiri, yang disebut dengan sewa rahim ialah perempuan yang menampung pembuahan suami-istri dan diharapkan melahirkan anak hasil pembuahan. Apalagi, dengan ditemukannya metode pengawetan sperma, frekuensi penggunaannya kian meningkat.
Praktik sewa rahim ramai berlaku di sejumlah negara, antara lain, Australia, Inggris, Kanada, Prancis, dan Singapura. Bahkan, di India data statistik menyebut tak kurang dari 150 bayi lahir melalui rahim sewaan per tahunnya. Kehadirannya memang dianggap solusi alternatif bagi pasangan yang hendak memiliki keturunan. Namun di sisi lain, praktik ini dinilai rapuh dari segi hukum dan etika.
Pelaksanaannya pun menuai pro dan kontra. Prof Hindun al-Khuli menjelaskan problematika ini dalam bukunya berjudul Ta'jir al-Arham fi Fiqh al-Islami. Ia memaparkan beberapa bentuk kasus sewa rahim berikut hukum penggunaannya dalam perspektif hukum Islam. Perbedaan pandangan muncul lantaran praktik modern di bidang kedokteran ini belum pernah mengemuka pada era awal Islam.
Ia mengatakan, para ulama sepakat, tiga bentuk praktik 'ibu pengganti' berikut ini diharamkan. Pertama, fertilasi tersebut menggunakan sel telur dan sperma orang asing (bukan suami istri). Sel telur dan sperma tersebut diperoleh dari pendonor tersebut dengan kompensasi materi tertentu. Hasilnya, kemudian diletakkan di rahim perempuan yang telah ditunjukkan untuk kepentingan orang ketiga.
Contoh kasus kedua yang diharamkan ialah sperma diambil dari suami dari pasangan yang sah, sedangkan sel telur dan rahim adalah milik perempuan yang bukan istrinya. Bayi yang lahir dari rahim yang bersangkutan, akan diserahkan kepada pasangan suami istri yang sah tersebut.
Sedangkan, praktik sewa rahim ketiga yang tidak diperbolehkan dalam agama ialah bila sel telur berasal dari istri yang sah, tetapi sperma yang digunakan untuk pembuahan bukan kepunyaan suaminya, melainkan hasil donor dari laki-laki lain. Rahim yang digunakan pun bukan rahim sang istri, melainkan perempuan lain. Setelah lahir, bayi lalu diserahkan kepada pemilik sel telur, dalam hal ini ialah sang istri dan suaminya, yang mandul.
Silang pendapat
Prof Hindun memaparkan, ada dua bentuk praktik yang hukumnya tidak disepakati oleh para ulama masa kini. Kasus yang pertama, yaitu, baik sel telur maupun sperma diambil dari pasangan suami istri yang sah. Setelah proses fertilasi di luar, hasil pembuahan tersebut dimasukkan ke rahim perempuan lain yang tidak memiliki hubungan apa pun.
Kasus yang kedua, yaitu sel telur dan sperma diambil dari pasangan suami istri yang sah, lalu diletakkan ke dalam rahim istri keduanya, misalnya, atau istri sahnya yang lain. Kedua bentuk persewaan rahim ini diperdebatkan oleh para ulama.
Kubu yang pertama berpendapat, kedua praktik ini haram ditempuh. Opsi ini merupakan keputusan Komite Fikih Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), baik yang digelar di Makkah pada 1985 maupun di Amman pada 1986, Dewan Kajian Islam Kairo pada 2001.
Pendapat ini juga diamini oleh mayoritas ahli fikih. Sebut saja, Prof Jadul Haq Ali Jadul Haq mantan Mufti dan Syekh al-Azhar, Mufti Mesir Syekh Ali Jumah, mantan Syekh al-Azhar Syekh Thanthawi, Syekh Musthafa az-Zurqa, dan Ketua Asosiasi Ulama Muslim se-Dunia Syekh Yusuf al-Qaradhawi.
Kelompok yang kedua berpandangan, kedua praktik sewa rahim yang diperdebatkan itu boleh dilakukan dengan sejumlah syarat ketat. Pendapat ini disampaikan oleh Prof Abdul Mu'thi al-Bayyumi.
Menurut anggota Dewan Kajian Islam al-Azhar dan mantan dekan fakultas ushuluddin di universitas Islam tertua di dunia tersebut, syarat-syarat yang dimaksud, yaitu rekomendasi yang kuat dari dokter dan pemeriksaan serta perawatan berkala yang ketat, usia 'ibu sewaan' harus cukup dan laik untuk hamil, dan perlunya kestabilan emosi pemilik rahim sewaan. Selain itu, pernyataan dari 'ibu sewaan' bahwa anak yang kelak ia lahirkan adalah milik si A dan si B selaku penyewa rahim.
Pendapat ini lalu diadopsi oleh sejumlah ulama Syiah dan beberapa dokter Muslim di mancanegara. Misalnya, dr Ismail Baradah, spesialis dokter perempuan di Universitas Texas Amerika, dan dr Usamah Izzat, guru besar kesehatan kelahiran di Pusat Kajian Nasional Kairo.