REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berbeda dengan puisi biasa, puisi esai dinilai memperkaya studi tentang Indonesia. Puisi esai dapat memberikan data sekunder mengenai sisi kultural, psikologis dan antropologis untuk memahami masyarakat Indonesia, dari Aceh hingga Papua.
"Puisi jenis lain tidak memberikan hal itu karena bahasanya terlalu ekslusif. Sedangkan bidang non-sastra kurang mengekspresikan sisi batin sebuah isu sosial," jelas kritikus sastra asal Sulawesi Tenggara Dr Rasiah M. Hum, dalam diskusi soal pro kontra puisi esai kedua, di Yayasan Budaya Guntur, Jumat (9/3).
Sedangkan guru bahasa dan penulis puisi esai Dhenok Kristianti,dalam siaran persnya, juga menceritakan pengalamannya. Menurut Dhenok, puisi esai mendekatkan puisi kembali kepada masyarakat. Isu yang diangkat puisi esai umumnya isu sosial yang memang sudah dikenal penduduk setempat.
"Apalagi yang istimewa, penulis puisi esai tak harus penyair. Sekitar 50 persen penulis puisi esai adalah dosen, jurnalis, aktivis, guru, bahkan ibu rumah tangga. Puisi tak lagi elitis namun kembali menjadi milik masyarakat," ujarnya dalam siaran pers.
Moderator diskusi Sastri Sunarti Sweeney dan komedian Mo Sidik meramaikan acara. Isti Nugroho selaku tuan rumah Yayasan Budaya Guntur 49 mengatakan bahwa acara diskusi ini sengaja dikemas serius tapi santai. Ada akademisi, pembaca puisi dan juga komedian yang membuat tertawa.
Sementara, Denny JA yang dianggap penggagas puisi esai memilih tak hadir dalam diskusi. Menurut Denny, biarlah publik yang bicara. "Justru pembicaraan lebih apa adanya jika saya tak hadir," kata dia.
Denny mengatakan, segera terbit 34 buku puisi esai di 34 provinsi yang melibatatkan 170 penyair dan penulis. Mereka bersama memotret batin Indonesia. Terlepas dari pro dan kontra yang ada, pembicara dalam diskusi mengamini telah lahir genre baru sastra Indonesia: Angkatan Puisi Esai.