REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Hifdzil Alim menyatakan penetapan tersangka kasus korupsi tetap harus diumumkan pada proses penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018. Jika ditemukan dua alat bukti yang cukup.
"Idealnya secara hukum, setelah ada dua alat bukti dan penegak hukum yakin dua alat bukti itu cukup untuk menetapkan tersangka, ya tetapkan tersangka. Secara politik, apakah sebelum atau sesudah Pilkada, itu tidak ada bedanya karena mekanisme (Pilkada) tetap berjalan," kata dia, Jumat (9/3).
Karena itu, Hifdzil menyebutkan, kalau KPK menemukan dua alat bukti yang cukup pada saat Pilkada masih berlangsung. Maka seharusnya yang bersangkutan harus segera ditetapkan tersangka tanpa harus menunggu proses Pilkada selesai.
Ukuran bagi penegak hukum dalam menetapkan tersangka kasus korupsi yakni kecukupan minimal dua alat bukti, bukan Pilkadanya. Bila alat bukti sudah cukup, penetapan tersangka harus dilakukan tanpa memandang waktu. Dengan demikian, tidak akan muncul kesan KPK bermain politik.
"Kalaupun sebelum pemilihan itu (ada peserta Pilkada) ditetapkan sebagai tersangka, ya sebenarnya bagus, karena publik punya referensi 'oh ternyata calon ini bermasalah', dari pada setelah pilkada, kemudian terpilih, publik akan kecewa," katanya.
Hifdzil juga mengungkapkan, bila ada pihak yang ditetapkan tersangka saat proses Pilkada berlangsung, lanjut Hifdzil, penetapan tersangka tersebut tidak menghentikan jabatan yang diemban pihak tersangka itu. Namun, jika kasus tersebut sampai pada pembacaan dakwaan, barulah jabatannya diberhentikan sementara.
"Jadi ketika ditetapkan tersangka tapi belum didakwa ya silakan mengikuti (proses pilkada). Tapi kalau misalnya setelah pilkada dia terpilih, lalu dibacakan dakwaannya, ya dia harus diberhentikan sementara," tuturnya.