REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Penyelidik independen Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk hak asasi manusia di Myanmar menginginkan penuntutan dilakukan terhadap kejahatan-kejahatan terhadap seluruh kelompok etnis dan agama. Dalam laporan yang dikeluarkannya pada Jumat (9/3), penyelidik Yanghee Lee melihat ada peningkatan bukti kecurigaan genosida (pembersihan etnis) telah terjadi.
Dalam laporan yang disampaikannya kepada Dewan HAM PBB, ia semakin menduga kuat peristiwa-peristiwa itu kemungkinan merupakan genosida dan karena itu mendesak agar pertanggungjawaban dilakukan. "Kepemimpinan pemerintahan (Myanmar) yang tidak melakukan apa pun untuk menengahi, menghentikan, atau mengecam tindakan-tindakan ini juga harus diminta pertanggungjawaban," katanya.
Pada awal pekan ini, seorang pejabat bidang HAM PBB Andrew Gilmour mengatakan pembersihan etnis oleh Myanmar terhadap kelompok Muslim Rohingya berlanjut. Keadaan itu masih terjadi lebih dari enam bulan sejak serangan pemberontak menyulut pasukan keamanan melancarkan tindakan, yang telah membuat hampir 700 ribu warga mengungsi ke Bangladesh.
Gilmour, yang menjabat sebagai asisten sekretaris jenderal PBB untuk HAM, mengeluarkan komentar itu setelah ia selama empat hari mengunjungi distrik Cox'x Bazar di negara tetangga Myanmar, Bangladesh. Dalam kunjungan tersebut, Gilmour menemui orang-orang yang mengungsikan diri dari Myanmar baru-baru ini.
Keluarga pengungsi Rohingya melintasi sungai kecil di perbatasan Myanmar-Bangladesh near Cox's Bazar, Bangladesh.
Setelah para pemberontak Rohingya menyerang 30 kantor polisi dan sebuah markas militer pada 25 Agustus, tentara-tentara dan polisi Myanmar menyisir desa-desa dalam gerakan yang disebut pemerintah sebagai operasi sah mencabut akar "teroris-teroris". Para warga Rohingya yang mencari tempat penampungan di Bangladesh telah melaporkan pasukan keamanan Myanmar melakukan pemerkosaan, pembunuhan dan pembakaran.
PBB dan Amerika Serikat telah menyimpulkan gerakan pasukan keamanan Myanmar itu sudah menjadi pembersihan etnis. Gilmour berbicara dengan para pengungsi, yang menceritakan penculikan-penculikan oleh pasukan keamanan dan setidaknya ada satu pria Rohingya yang tewas dalam penahanan pada Februari.
"Tampaknya kekerasan yang meluas dan sistematis terhadap Rohingya terus berlangsung. Sifat kekerasan tersebut telah berubah dari pertumpahan darah tak terkendali dan pemerkosaan massal tahun lalu menjadi operasi teror dengan intensitas yang lebih rendah serta serta kelaparan yang dipaksakan, yang tampaknya diatur untuk membuat warga-warga Rohingya yang masih ada meninggalkan rumah-rumah mereka menuju Bangladesh," kata Gilmour.
Walaupun Myanmar mengatakan siap menerima kembali para pengungsi, di bawah kesepakatan yang ditandatangani dengan Bangladesh pada November pemulangan yang aman, bermartabat dan berkelanjutan tentu saja tidak mungkin terjadi di tengah kondisi saat ini.