REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana penetapan moratorium pembatasan pengiriman dan penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Malaysia kembali bergulir. Itu setelah meninggalnya Adelina Jamirah Sau, pekerja migran Indonesia asal Nusa Tenggara Timur, beberapa waktu lalu.
Namun, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Imelda Freddy, kurang setuju dengan rencan pemerintah tersebut. Padahal, kata dia, regulasi yang sederhana dan tidak berbelat-belit menjadi cara ampuh untuk mencegah para calon pekerja migran untuk menempuh jalan ilegal.
"Justru dengan adanya moratorium itu, berpotensi memancing para calon tenaga kerja untuk menempuh jalur ilegal. Seharusnya pemerintah mempelajari kembali mengenai regulasi penerimaan dan pemberangkatan pekerja migran yang sudah ada. Bukan potong kompas dengan menetepkan moratorium," ujar Imelda, saat berkunjung ke Kantor Harian Republika, di Warung Buncit, Jakarta Selatan, Jumat (9/3).
Sebab, tambah Imelda, regulasi yang sudah ada dinilai terlalu lama karena birokrasi yang berbelit-belit dan cukup mahal ongkosnya. Sehingga hal ini menyebabkan banyaknya para calon pekerja migran yang memilih menggunakan jalur ilegal.
Apalagi, jika moratorium tersebut benar-benar ditetapkan oleh pemerintah. Kemudian pemerintah juga harus memperhatikan bahwa remitansi TKI yang dikirim kepada sanak keluarganya di kampung telah meningkatkan perekonomian lokal. Bahkan tidak sedikit, berkat remitansi tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan dengan mulai membuka usaha.
"Nah masalahnya jalur resmi itu lama karena birokrasinya berbelit-belit dan pembiayaannya cukup mahal. Seandainya saja jalur resmi dibuat lebih efektif dapat dipastikan para calon pekerja migran memilih jalur resmi," tambahnya.
Selanjutnya, CIPS mendorong pemerintah agar tidak hanya memperkuat perlindungan ditingkat nasional tapi juga sampai ke level masyarakat, termasuk mekanisme perekrutan calon TKI. Sebab, biasanya agen pengirim TKI mendatangi desa-desa di Indonesia untuk mengajak para perempuan untuk bekerja di luar negeri dengan iming-iming gaji besar.
Apalagi, para perekrut biasanya adalah kerabat atau setidaknya kenalan penduduk di desa itu sendiri. Sehigga para calon TKI percaya dan tidak menaruh curiga, padahal mereka direkrut oleh lembaga penyalur ilegal. "Maka akibatnya banyak kasus-kasus seperti yang terjadi pada Adelina," keluh Imelda.
Sehingga, kemudian dengan hadirnya perhatian pemerintah ke level bawah, perekrutan calon TKI oleh lembaga ilegal dapat dicegah. Selain itu mereka juga harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat di desa-desa, terutama yang banyak menyumbang TKI ke luar negeri.
Diharapkan, masyarakat juga memiliki pengetahuan dan tidak dengan mudah tergiur cara-cara yang tidak resmi, sekalipun ditawari oleh kerabatnya. "Ini dilakukan untuk dicegah supaya tidak ada lagi korban Adelina selanjutnya," tutup Imelda.
Sebelumnya, Adelina meninggal di rumah sakit Bukit Mertajam, Penang, pada (11/2) lalu. Korban meninggal setelah mengalami penyiksaan di rumah majikannya.
Kepolisian Malaysia telah menahan tiga tersangka atas meninggalnya tenaga kerja Indonesia yang telah bekerja di negara tetangga ini sejak 2014. Adapun majikannya, Ambika, itu dikenai tuduhan melakukan pembunuhan. Berdasarkan Pasal 302 KUHP Malaysia, Ambika kemungkinan mendapatkan hukuman mati jika terbukti bersalah.