REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) memaparkan kontribusi sektor musik terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih sangat kecil terutama jika dibandingkan dengan sektor ekonomi kreatif lainnya.
Deputi Akses Permodalan Bekraf, Fadjar Hutomo saat ditemui di Kementerian BUMN Jakarta, Jumat (9/3) menyebutkan kontribusi sektor musik berkisar 1 persen dari total PDB industri kreatif di akhir tahun 2017 sebesar Rp1.000 triliun (berdasarkan data BPS 2017).
"Musik masih kecil sekitar satu persen dari keseluruhan ekonomi kreatif. Yang tertinggi adalah kuliner 43 persen," kata Fadjar.
Ia menyampaikan subsektor musik merupakan satu dari tiga subsektor prioritas di bawah naungan Bekraf, sedangkan dua bidang lainnya adalah film animasi dan video; serta aplikasi dan game developer.
Namun, masih kecilnya kontribusi sektor musik salah satunya karena penghitungan kualifikasi baku lapangan industri yang dicatat Badan Pusat Statistik.
Menurut dia, BPS belum menghitung secara keseluruhan pendapatan dari ekosistem industri musik, baik melalui pertunjukan konser, pendapatan dari penjualan CD, kaset dan RBT (ring backtone) dan kerugian akibat pembajakan lagu.
"BPS bisa mengeluarkan angkanya, tetapi seberapa lengkap apakah sudah menggambarkan ekosistem musiknya?," ungkapnya.
Fadjar berpendapat untuk mendongkrak kontribusi ekonomi kreatif, khususnya sektor musik, ada enam aspek yang perlu dibenahi, antara lain kelengkapan data, infrastruktur, akses permodalan, kekayaan intelektual dan pemasaran.
Bekraf mencatat pelaku industri ekonomi kreatif yang mendaftarkan hak paten dan karya ciptanya baru sekitar 11 persen. Oleh karena itu, Fadjar mengimbau para pelaku industri untuk segera mendaftarkan kekayaan intelektualnya.
Ada pun pada akhir 2017, PDB industri kreatif mencapai Rp1.000 triliun yang disumbang dari subsektor kuliner sebesar 43 persen, fesyen 18 persen dan kriya atau hasil kerajinan 16 persen.
Capaian ini meningkat dibandingkan tahun 2016 yang tercatat sebesar Rp922 triliun