REPUBLIKA.CO.ID -- Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga mencabut Surat Rektor No B-1301/Un02/R/AK.00.3/02/2018 tentang Pembinaan Mahasiswi Bercadar. Pencabutan tercantum dalam surat keputusan yang ditandatangani Rektor UIN Sunan Kalijaga Yudian Wahyudi.
Surat bernomor B-1679/Un.02/R/AK.00.3/03/2018 mencantumkan perihal dengan keterangan Pencabutan Surat Tentang Pembinaan Mahasiswi Bercadar. Keterangan menyatakan surat bersifat penting dan dikeluarkan pada 10 Maret 2018.
Dalam surat itu dijelaskan, keputusan pencabutan didasarkan pada hasil rapat koordinasi universitas (RKU) pada Sabtu, 10 Maret 2018. Disebutkan pula, pencabutan dilakukan demi menjaga iklim akademik yang kondusif.
"Berdasarkan hasil Rapat Koordinasi Universitas pada Sabtu, 10 Maret 2018, diputuskan bahwa Surat Rektor No B-1301/Un02/R/AK.00.3/02/2018 tentang Pembinaan Mahasiswi Bercadar dicabut demi menjaga iklim akademik yang kondusif," tulis surat yang diterima Republika, Sabtu (10/3).
Surat yang lengkap dengan kop surat dan stempel resmi UIN Sunan Kalijaga itu ditujukan kepada beberapa jajaran, yaitu direktur program pascasarjana, dekan fakultas, dan kepala unit/lembaga UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Pencabutan surat pembinaan itu juga telah dikonfirmasi langsung Rektorat UIN Sunan Kalijaga. "Betul," kata Rektor UIN Sunan Kalijaga Yudian Wahyudi saat dikonfirmasi Republika terkait beredarnya surat pencabutan pembinaan mahasiswi bercadar, Sabtu malam.
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama UIN Sunan Kalijaga Waryono juga membenarkan adanya pencabutan surat tersebut. "La syakka fihi (tidak ada keraguan di dalamnya—Red)," ujar dia melalui pesan singkat.
Sebelumnya, desakan agar pihak kampus mencabut larangan cadar terus mengemuka. Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM) Ali Muthohirin bahkan meminta pemerintah melalui Kementerian Agama segera mengganti rektor UIN Sunan Kalijaga, termasuk memberikan batasan-batasan kebijakan dalam kampus.
Ali mengatakan, pemakaian cadar merupakan hak pribadi, apalagi di dunia kampus yang seharusnya memberikan ruang pemahaman sepanjang masih dalam ruang lingkup intelektual. "Ini menjadi kecerobohan kebijakan, bahkan menghadirkan tendensius yang luar biasa karena ini bentuk pemaksaan pemahaman dalam praktik keyakinan," ujarnya, Sabtu.
Seharusnya, kata dia, kampus menyediakan ruang diskusi terkait perbedaan pemahaman dalam praktik beragama, bukan malah melarang, bahkan mengancam mengeluarkan. Kalaupun pihak kampus menilai praktik itu kurang tepat, kampus harus melakukan pembinaan. Sebab, setelah masuk kampus, mahasiswa menjadi tanggung jawab perguruan tinggi.
Menurut Ali, pelarangan justru tidak mencerminkan pendidikan kampus, tetapi lebih sebagai gaya berpikir para pemangku kebijakan di kampus. Dalam konteks tersebut, kampus tidak lagi menjadi ruang diskusi, tetapi sudah menjadi otoriter.
"Memaksakan kehendak dan pikiran serta melanggar hak mahasiswa dalam praktik keyakinan. Kalau pelarangan ini diikuti, dampaknya adalah akan menguatnya konflik pemahaman dan terkesan ada stigma negatif terhadap mahasiswi bercadar. Mengurangi nilai kampus sebagai basis pendidikan yang menghadirkan kesejukan dan diskusi," ungkapnya.
Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Sadam Al Jihad meminta pemerintah memberikan penjelasan kepada publik mengenai aturan hak warga negara dalam kebebasan beragama. Menggunakan cadar merupakan hak setiap Muslimah. Segala hal yang berhubungan dengan aturan ini harus diberitahukan.
Menurut dia, pemakaian cadar dalam pandangan Islam bukan bagian dari radikalisme. Setiap warga negara pun harus bisa menghargai perbedaan dalam simbol beragama. "Cadar merupakan kebutuhan sebagian keyakinan setiap Muslim," ucapnya.