REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pernyataan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat rapimnas memunculkan spekulasi bahwa Demokrat membuka pintu untuk bergabung dengan koalisi parpol pendukung capres Joko Widodo.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Roy Suryo menegaskan bahwa peluang masih 50-50. Artinya Partai Demokrat masih mungkin untuk bergabung dengan koalisi Jokowi ataupun koalisi yang dibangun Gerindra-PKS. Bahkan membentuk koalisi baru untuk mengusung capres/cawapres ketiga. Berikut wawancara lengkap Republika dengan Roy Suryo:
Keputusan internal Partai Demokrat merapat ke koalisi mana?
Jadi sebenarnya, perhatikan betul amanah ketua umum kami, Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), kemarin pada saat pembukaan sebelum amanahnya Presiden Jokowi. Jangan dipotong-potong. Kalau dipotong-potong nanti akibatnya ada, maaf, pemberitaan-pemberitaan yang mungkin (Partai Demokrat) disebut sudah mulai condong mendukung Pak Jokowi atau mendukung partai penguasa saat ini. Tidak.
Jadi, bagaimana?
Kami itu memberikan jalan, harapan, untuk juga mengusung pemerintahan ini sebaik-baiknya atau nanti mendukung sebaik-baiknya yang di tahun 2019. Tanpa memang belum memberikan apakah kami akan ikut menjadi partai poros ketiga atau ke salah satu poros. Karena semuanya harus dipertimbangkan.
Presidential treshold kita kan itu ada ketentuan minimal 20 persen. Jadi, kami kalau mau mengusulkan itu, tentu kan kita harus memiliki calon yang benar-benar kuat. Tetapi kan kita juga tidak mungkin sudah tidak ada calon sama sekali. Artinya, kita berusaha betul menampung aspirasi itu dan kita tak terburu-buru.
Makanya kan, mungkin ada harapan dari teman-teman hari ini, dua hari ini, hasil rapimnas (Rapat Pimpinan Nasional Partai Demokrat 2018) ini kita mendukung salah satu pihak, poros, atau pun membentuk poros ketiga. Kalau kita baca, atau dengan statement Pak SBY ya, kita memang belum akan menyebutkan itu ke mana. Karena kita memang benar-benar memperhitungkan secara matang, terukur, jadi tidak benar kalau kita sudah ke salah satu poros. Kalau pun kita mendukung Pak Jokowi atau salah satu poros, itu harus dengan beberapa syarat dulu.
Tapi di internal Partai Demokrat sendiri peluang lebih besarnya ke PDIP apa yang lain?
Semuanya sama. Di politik anything can possible. Semuanya masih mungkin apakah ke poros PDIP katakanlah, atau poros Gerindra, atau kita mau buat poros sendiri. Semuanya masih mungkin. Karena sangat dinamis. Kalau kita ingat, pilkada DKI Jakarta itu, kan dulu sepertimya sudah ada tokoh-tokoh yang muncul. Waktu itu ada nama Pak Yusril, ada Adhyaksa Dault, Ahok. Tapi kan tiba-tiba di last minute kita punya jago yang namanya mas AHY (Agus Harimurti Yudhoyono). Kemudian di last minute juga ada Mas Anies dan ternyata yang menang kan Mas Anies. Jadi kan di Indonesia itu bisa terjadi.
Sejauh mana sikap demokrat menyiapkan poros ketiga? Mengingat di pilkada DKI Jakarta lalu sempat kalah?
Oke, makanya kalau mas dengar, dua hari yang lalu ada pertemuan antara sekretaris jenderal kami dengan PAN dan PKB. Itu memang baru inisiasi awal. Belum memutuskan apa-apa karena akan dilanjutkan ke pertemuan kedua-ketiga yang dilakukan secara bergiliran.
Tentu, pertimbangannya akan matang. Benar bahwa kita sangat menyadari, poros ketiga yang sama dengan pilkada DKI Jakarta itu. Waktu itu, hasilnya belum menguntungkan. Tapi harus kita ingat, bagaimana ketegaran AHY yang menyatakan (kekalahan) dengan sangat ksatria.
Kita juga lihat sekarang, alhamdulillah, Mas Agus polling-nya itu kalau untuk RI 2 itu kan sudah sekitar 20-an persen. Bahkan, jadi yang tertinggi setelah incumbent. Tapi kalau RI 1 memang masih cukup kecil.
Jadi, sekali lagi realistis. Kata kuncinya, Partai Demokrat realistis dan di dalam rapimnas ini kita mencari solusi yang terbaik untuk bangsa Indonesia.
Di Partai Demokrat itu lebih banyak suara untuk membentuk poros baru atau bergabung ke poros lain?
50-50, karena kita juga mendengar suara di rapimnas ini. Tapi kita juga sempat adakan pertemuan dua minggu yang lalu. Dan waktu itu Pak SBY benar-benar sebagai seorang demokrat, demokrat tulen, mendengarkan semua aspirasi dari pengurus teras.
Kita semua diberikan hak bicara. Ada 37 orang yang menyampaikan pendapat waktu itu. Semua dengan pilihan-pilihan mendukung poros A, B, atau maju sendiri. Tapi, semua kita perhitungkan karena kita memiliki yang namanya timeline. Jadi punya periode waktu dan itu cukup pendek. Karena kan cuma sampai Agustus untuk mengajukan bakal calon. Jadi, kita tidak terburu-buru. Jadi, sekali lagi, kalau boleh dibilang ya masih 50-50.
Dari 37 itu cenderung kemana?
Tentu hasilnya tak saya ceritakan detil. Tapi artinya semuanya ada. Ada tiga kemungkinan. Ada yang mendukung Pak Prabowo, mendukung Pak Jokowi, atau pun maju sendiri.
Ibaratnya kalau kita lihat jaman pergerakan republik dulu, sebelum kemerdekaan, juga ada. Indonesia mau merdeka kapan? Ada yang ikut Jepang, anu. Tahu-tahu ada yang menculik Soekarno ke Rengasdengklok. Ibaratnya kan kaya gitu.
Kalau adanya calon tunggal bagaimana?
Kalau kita tak pernah bahas itu. Tapi insyaallah demokrasi Indonesia akan baik kalau tidak ada calon tunggal. Dan calon tunggal belum tentu pilihan yang terbaik. Bisa saja yang menang itu bambu kosong.