REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ada sebagian kalangan di Indonesia yang masih mengharamkan asuransi syariah. Padahal produk atau layanan asuransi syariah sudah diatur sedemikian rupa agar sesuai dengan tuntunan syariah.
Praktisi ekonomi syariah Muhammad Syakir Sula mengatakan, produk asuransi syariah itu secara umum terbagi dalam dua kategori. Pertama, yang murni tolong-menolong (tabarru/ta’awun). Kedua, asuransi sekaligus investasi (bisnis). Dia mengungkapkan, ada salah satu kelompok yang menyatakan bahwa produk asuransi yang halal adalah yang murni tabarru.
“Mereka menganggap asuransi sekaligus investasi (bisnis), haram, walaupun ini adalah produk asuransi syariah, yang tidak mengenal bunga, judi dan gharar,” kata Syakir diskusi “Syariah Untuk Semua” yang diadakan oleh Prudential Life Assurance (Prudential Indonesia) di Jakarta, pekan lalu.
Kedua unsur asuransi syariah ini diikat dengan perjanjian (akad) yang berbeda. Bila tujuannya hanya ingin mendapatkan manfaat asuransi umum (bukan bisnis) menggunakan akad tabarru’. "Bila Anda membuat asuransi dengan tujuan investasi maka menggunakan akad tijarah dan bisnis yang diasuransikan diikat dengan akad mudharabah," tuturnya.
Syakir mengatakan, asuransi sekaligus investasi itu juga mengandung unsur tabarru. “Asuransi dengan tujuan investasi menggunakan akad tijarah dan bisnis yang diasuransikan diikat dengan akad mudharabah (bagi hasil). Asuransi dengan tujuan investasi (bisnis) itu sekaligus juga mengandung akad tabarru (tolong-menolong). Unsur tabarru itu menempel pada produk tersebut,” tegasnya.
Dalam hukum fikih, ujar dia, akad tijarah dan mudharabah jika bertemu akad tabarru, maka hukumnya halal. Menurut dia, masyarakat perlu memahami, bahwa asuransi syariah itu, baik murni tabarru maupun asuransi sekaligus investasi, sama-sama halal.
Untuk menjawab pendapat bahwa produk asuransi syariah berupa asuransi sekaligus investasi itu halal, Syakir Sula menulis buku tentang asuransi syariah halal. Buku yang tebalnya hampir 1.000 halaman itu mengutip referensi dari kitab-kitab zaman tabi’in dan tabi’it tab’in (sekitar 200 tahun setelah Rasulullah SAW wafat). Ada sekitar 1.200 catatan kaki.
Ia mengemukakan, pertumbuhan industri asuransi syariah tahun 2017 mencapai 21 persen. Namun pangsa pasarnya masih relatif kecil, karena hanya sekitar 6,5 persen. Dengan angka sekecil itu, asuransi syariah masih jalan di tempat.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan industri asuransi syariah di Indonesia belum begitu berkembang. Pertama, faktor modal. “Modal pendirian perusahaan asuransi syariah masih relatif kecil sekali. Padahal kita tahu, kalau modalnya kecil, pasti susah bergerak,” ujarnya.
Kedua, sumber daya manusia. Bagi dia, SDM asuransi syariah masih banyak yang belum bagus mutunya, baik penguasaannya terhadap materi, maupun cara mengkomunikasikannya.
Faktor ketiga adalah sistem teknologi informasi (TI). “Sistem TI yang belum bagus, bisa menjadi hambatan bagi perusahaan asuransi syariah untuk berkembang,” ujar Syakir Sula.
Presiden Direktur Prudential Indonesia Jens Reisch mengatakan pihaknya sangat serius memperhatikan masalah SDM. “Kami sangat serius mengelola SDM, baik SDM asuransi konvensional maupun asuransi syariah. Bahkan, tahun 2018 ini kami lebih serius lagi dalam mengembangkan SDM syariah,” kata Jens Reisch.
Hal senada diungkapkan oleh Corporate Communications & Sharia Director Prudential Indonesia Nini Sumohandoyo. “Saat ini Prudential memiliki 270 ribu agen. Dari jumlah tersebut, jumlah agen berlisensi syariah sekitar 100 ribu orang,” tutur Nini.
Nini menambahkan, Prudential sangat serius mengembangkan asuransi syariah. “Kami mengusung tagline ‘Syariah untuk semua’. Ini menunjukkan keseriusan Prudential mengembangkan asuransi syariah,” ujar Nini Sumohandoyo.