REPUBLIKA.CO.ID, TAKENGON, ACEH -- Situs Cagar Budaya Loyang Mendale, Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah, saat ini tampak terbengkalai dan tak terawat. Padahal tempat ini memiliki nilai sejarah penting sebagai lokasi ditemukannya kerangka manusia prasejarah yang menghuni kawasan tersebut sejak 9.000 tahun lalu.
Pantauan wartawan di lokasi, Senin (12/3), replika kerangka manusia prasejarah yang dibuat oleh tim peneliti dari Balai Arkeologi (Balar) Medan, Sumatra Utara, sebagai bahan edukasi di situs tersebut rusak dan hancur berkeping.
Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan Kabupaten Aceh Tengah, Iskandar, selaku pihak yang membidangi pelestarian situs cagar budaya tersebut mengatakan pihaknya sampai saat ini belum bisa mencampuri penanganan situs tersebut karena masih ditangani oleh Balar Medan.
"Kita masih belum bisa masuk (menangani) situs itu, karena Badan Arkeologi Sumatera Utara masih menanganinya. Jadi belum bisa kita masuk sembarangan, karena belum diserahkan ke kita," tutur Iskandar.
Menurutnya, perawatan Situs Cagar Budaya Loyang Mendale juga seharusnya dilakukan setelah penelitian di lokasi situs tersebut selesai dilakukan. "Hasil penelitian yang didapati kerangka (manusia) prasejarah di sana juga belum dikembalikan ke kita. Waktu saya tanyakan ke Pak Ketut (Ketua tim peneliti) beberapa waktu lalu, saya sudah minta dikembalikan," ujar dia.
Situs ini telah diteliti oleh Balar Medan, Sumatera Utara, sejak tahun 2007 dan eskavasi pertama dilakukan pada tahun 2009. Tim arkeolog dipimpin Ketut Wiradnyana awalnya melakukan survei di wilayah di Aceh Tengah. Survei dilakukan di sejumlah titik yang dianggap memiliki potensi peninggalan prasejarah.
Selain di kawasan Loyang Mendale, penelitian juga dilakukan di kawasan Ujung Karang, Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah.
Ketut Wiradnyana menjelaskan temuan kerangka prasejarah di Loyang Mendale dan Ujung Karang merupakan ras Austro Melanesoid yang berada pada budaya Austronesia. Ras tersebut, kata Ketut, masih memiliki hubungan dengan ras Mongoloid yang datang dari Cina.
Ketut bahkan menyimpulkan bahwa penelitian yang dilakukan pihaknya terhadap kerangka prasejarah di Loyang Mendale dan Ujung Karang, ternyata membuahkan teori yang berbeda dengan teori migrasi Austronisia yang selama ini diyakini para arkeolog.
Sebelumnya, kata Ketut, banyak di antara arkeolog yang meyakini teori bahwa migrasi Austronesia atau ras Mongoloid dimulai dari Cina, Taiwan, Filipina, Sulawesi dan menyebar kemana-mana.
"Sedangkan dari data yang saya temukan ini berbeda. Bahwa ras Mongoloid bermigrasi dari Cina bagian selatan, Thailand, dan langsung ke Gayo. Karena yang dijadikan massa ideal migrasi Austronesia ke Indonesia adalah 3600 tahun yang lalu. Tapi disini kita punya hampir 5000. Jadi tidak mungkin dari Sulawesi kemari, karena lebih tua di sini," tuturnya.
Temuannya itu, kata Ketut, juga bisa saja mereposisi keberadaan ilmu arkeologi yang selama ini ada. Setidaknya tentang teori migrasi Austronesia. "Kita temui juga disini ada migrasi budaya hoabinh. Saya melihat ini adalah lompatan besar bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang arkeologi dalam merekontruksi sejarah budaya," ujar Ketut.
Pada tahun 2010, kata Ketut, pihaknya juga pernah melakukan perbandingan DNA kerangka prasejarah yang ditemukan di kedua situs tersebut dengan DNA masyarakat Gayo setelah mengumpulkan 300 lebih sampel DNA orang Gayo.
Sedangkan uji DNA dilakukan di laboratorium Universitas Erlangga Surabaya. Hasilnya, kata Ketut, DNA yang diuji banding positif sama. Kerangka yang ditemukan terbukti sebagai nenek moyangnya orang Gayo.
Bahkan, kata Ketut, pihaknya juga sudah membandingkan langsung DNA kerangka-kerangka tersebut dengan DNA dua orang pemilik lahan situs Loyang Mendale dan Ujung Karang, tempat kerangka ditemukan. Hasilnya juga positif sama.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook