REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Amnesty International membeberkan hasil investigasi, di mana negara bagian Rakhine di Myanmar diubah menjadi wilayah militer oleh otoritas setempat dengan membangun basis-basis pasukan keamanan. Mereka membuldozer lahan di perkampungan milik etnis Muslim Rohingya yang sengaja dibakar hingga rata dengan tanah beberapa bulan lalu.
Lewat keterangan saksi mata dan analisis citra satelit, laporan Amnesty International Remaking Rakhine State menjelaskan secara rinci bagaimana pembangunan proyek konstruksi meningkat di wilayah perkampungan Rohingya. Perkampungan itu telah rata dengan tanah setelah ratusan ribu warga Rohingya melarikan diri dari praktek pembersihan etnis yang dilakukan oleh militer tahun lalu.
Jalan dan bangunan didirikan di perkampungan Rohingya membuat para pengungsi makin sulit untuk kembali ke rumah mereka lagi. Direktur Penanggulangan Krisis Amnesty International, Tirana Hassan, mengatakan apa yang dilihat di negara bagian Rakhine adalah praktek perampasan tanah oleh militer dalam skala yang sangat besar.
"Markas militer yang sedang dibangun justru diperuntukkan menjadi tempat tinggal bagi pasukan keamanan yang telah melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap komunitas Rohingya," ujar Tirana Hassan dalam keterangan tulis yang diterima Republika di Jakarta, Senin (12/3).
"Hal ini membuat harapan agar pengungsi Rohingya dapat kembali secara sukarela, aman, dan bermartabat semakin jauh dari kenyataan. Tidak hanya rumah mereka yang hilang, tetapi pembangunan ini semakin memperparah diskriminasi yang mereka hadapi di Myanmar," ucapnya.
Dalam foto file bulan September 2017, sejumlah pengungsi perempuan Muslim Rohingya berebut pembagian makanan di kamp pengungsian Balukhali, Bangladesh.
Rata dengan tanah
Aparat keamanan Myanmar mulai melancarkan serangan pembersihan etnis sekitar Agustus 2017. Serangan ini sebagai balasan atas tindakan kelompok bersenjata the Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) yang menyerang pos keamanan milik tentara Myanmar di negara bagian Rakhine.
Militer Myanmar membunuh perempuan, laki-laki dan anak-anak serta melakukan pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya terhadap wanita dan anak perempuan. Militer juga membakar ratusan perkampungan milik Rohingya.
Tindakan Militer Myanmar ini adalah jelas merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan. Sebanyak 670.000 orang melarikan diri ke Bangladesh pasca-serangan balasan tersebut.
Walaupun kekerasan di negara bagian Rakhine telah mereda, upaya untuk mengusir warga Rohingya dari tanah mereka dan memastikan mereka tidak bisa kembali, tetap berlanjut dalam bentuk yang baru.
Penelitian terbaru Amnesty International mengungkap bagaimana rumah-rumah yang ada di perkampungan Rohingya yang telah dibakar dan diratakan dengan tanah sejak Januari. Bahkan, pepohonan dan vegetasi yang ada di sekitarnya juga dihancurkan sehingga membuat wilayah tersebut susah dikenali lagi.
Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa otoritas Myanmar sedang mencoba untuk menghilangkan bukti kejahatan kemanusiaan terhadap Rohingya yang dapat mempersulit investigasi di masa yang akan datang.
"Perataan dengan tanah seluruh perkampungan Rohingya sangat mengkhawatirkan. Kuat dugaan otoritas Myanmar sedang mencoba menghapus bukti kejahatan kemanusiaan yang membuat segala upaya untuk meminta pertanggungjawaban para pelaku kejahatan kemanusiaan menjadi sulit," kata Tirana.
Amnesty International juga telah mendokumentasikan bentuk-bentuk kejahatan seperti penjarahan dan pembakaran dengan sengaja dan penghancuran rumah dan mesjid milik etnis Rohingya di utara negara bagian Rakhine.