REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Australia berkembang pesat. Dalam satu tahun, tetangga Indonesia ini menambah hampir 400 ribu jiwa dalam populasinya. Itu seperti menambah satu kota seukuran Canberra.
Sebagian besar penduduk baru tersebut memenuhi empat kota besar yakni Melbourne, Sydney, Brisbane, dan Perth. Pada 2006-2016, Melbourne telah menambah populasi hampir 1 juta orang. Sydney tak jauh di belakangnya dengan menambah 800 ribu orang. Pada periode yang sama, Brisbane dan Perth tumbuh hampir setengah juta jiwa. Kondisi tersebut memengaruhi kemacetan di jalan raya dan jaringan kereta api, hingga perjuangan untuk memenuhi permintaan sekolah dan rumah sakit.
Kembali pada 1997, Australia diperkirakan baru mencapai populasi 25 juta pada pertengahan abad ini. Tapi nyatanya, populasi Australia sudah kini sudah mencapai jumlah itu. Program Four Corners telah menyelidiki bagaimana pertumbuhan populasi ini terjadi dan mengapa kondisi ini membuat Pemerintah Australia terkejut.
Australia memiliki tingkat kelahiran yang stabil dan penduduknya juga memiliki harapan hidup lebih lama. Tapi pendorong utama pertumbuhan penduduk Australia adalah imigrasi.
Pada tingkat pertumbuhan saat ini, Melbourne dan Sydney akan mencapai populasi 8 juta di pertengahan abad ini. Tapi kedua kota itu sudah berada di bawah tekanan.
Sebagian besar dari warga Australia merasakan tekanan pertumbuhan penduduk selama perjalanan ke dan dari tempat kerja sehari-hari. Sydney memiliki waktu perjalanan terpanjang, diikuti oleh Melbourne.
Marg Prendergast, koordinator umum di Dinas Transportasi Negara Bagian New South Wales (NSW), mengatakan bahwa ketergantungan warga Australia pada mobil harus berubah. "Kami melakukan semua yang kami bisa untuk menempatkan transportasi umum sebagai pilihan nyata, karena pengemudi mobil tunggal tidak akan muat di jalan selama bertahun-tahun yang akan datang," katanya.
"Kami tidak bisa membangun diri dari pertumbuhan ini. Sebenarnya kami perlu mengelola permintaan dengan lebih baik. Kami ingin orang-orang melakukan perjalanan lebih awal (atau) untuk melakukan perjalanan sedikit lebih mundur."
New South Wales bereksperimen dengan membuat perusahaan menggeser jam kerja, sehingga beban lalu lintas bisa menyebar sepanjang hari. Tapi jika Melbourne dan Sydney akan menjadi kota dengan skala London dan Hong Kong, dibutuhkan banyak perubahan yang lebih besar. "London dan Hong Kong mengatasinya karena mereka memiliki sistem transportasi umum yang menakjubkan. Di Sydney sini, kami sedang berupaya ke arah sana."
Selain itu, pemerintah negara bagian berusaha untuk memenuhi permintaan akan sekolah. Pada 2016, Institut Grattan memperkirakan bahwa dalam lebih dari 10 tahun, negara bagian Victoria dan NSW masing-masing perlu membangun sekitar 200 sekolah untuk memenuhi permintaan. Queensland tak jauh ketinggalan, membutuhkan sekitar 197 sekolah baru.
Victoria sekarang membangun sekolah "vertikal" bertingkat di bagian dalam kota untuk menggantikan sejumlah sekolah yang ditutup pada 1990-an. Menteri Pendidikan Victoria James Merlino mengatakan ini adalah masa depan pinggiran kota di bagian dalam. "Lahannya lebih kecil, jadi Anda harus membangun secara vertikal untuk memenuhi jumlah siswa.” "Kami perlu menampung 90 ribu siswa tambahan selama lima tahun ke depan, benar-benar pertumbuhan pendaftaran yang luar biasa.”
"Kami memiliki 56 sekolah baru yang sedang dalam konstruksi, 11 di antaranya dibuka untuk tahun ajaran 2018.”
Lantaran hal itu, eruan baru untuk menarik kembali imigrasi berasal dari kedua kubu politik. Pada 2000, mantan Menteri Utama New South Wales Bob Carr terkenal pernah menyatakan bahwa Sydney "padat". Hampir dua dekade kemudian, ia mengatakan bahwa Australia telah melampaui batas imigrasi.
"Apakah ini tragedi nasional, jika kami butuh waktu lima tahun untuk menambahkan satu juta dalam populasi kami, bukan tiga? Atau, mungkinkah, mendorong warga Australia untuk menemukan cara lain untuk mendorong ekonomi kontemporer?" kata Carr.
Mantan Perdana Menteri Tony Abbott baru-baru ini menyarankan untuk memangkas imigrasi agar infrastruktur bisa menyusul. Bendahara Scott Morrison segera menolaknya, dengan mengatakan bahwa "jumlah yang harus dibayar mencapai sekitar 4 miliar dolar sampai 5 miliar dolar (atau setara Rp 40-50 triliun) selama empat tahun ke depan."