REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Revitalisasi angkutan umum di kawasan Jabodetabek sudah sepatutnya menjadi prioritas. Hal itu disampaikan pengamat transportasi, Djoko Setijowarno. Sebab menurut dia, total pergerakan di kawasan ini sudah mencapai 50 juta pergerakan per hari, di mana peran angkutan umum massal baru mencapai dua sampai empat persen.
Djoko menjelaskan, permasalahan Jabodetabek saat ini adalah tingkat kemacetan semakin tinggi, sepeda motor kian dominan, sedangkan angkutan umum terus menurun. "Infrastruktur angkutan massal terbatas, pengadaan bus dan commuter line masih belum memenuhi perjalanan," ucapnya ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (12/3).
Tapi, Djoko menilai, pengembangan transportasi umum memang bukanlah pekerjaan mudah. Menambah kapasitas KRL sudah sulit dilakukan karena rangkaian yang padat. Sedangkan menambah frekuensi perjalanan akan terhambat perlintasan sebidang dengan jalan raya.
Salah satu cara yang sudah digunakan adalah memperpanjang jaringan pelayanan KRL hingga Cikarang. Hanya, Djoko melihat, operasi ini masih belum bisa maksimal karena jalur ganda belum selesai terbangun.
Upaya lain yang masih bisa dilakukan, yakni memperpanjang layanan bus Transjakarta hingga kawasan Bodetabek. Selain itu juga memberi layanan angkutan umum yang tersedia di seluruh kawasan perumahan di Bodetabek. "Layanan ini bisa beroperasi pada jam sibuk sampai masuk ke pusat kota Jakarta. Di saat jam tidak sibuk, cukup singgah di stasiun KRL terdekat," tutur Djoko.
Cara lain untuk mengurangi kendaraan di Jakarta yakni menerapkan program ganjil genap di akses pintu tol. Tidak hanya di Bekasi, Djoko mengatakan, sistem ini bisa diterapkan untuk semua akses pintu masuk tol di kawasan lain seperti Tangerang, Bogor dan Depok.
Djoko tidak menampik, akan adanya gelombang kontra terkait kebijakan tersebut. Tapi, apabila pemerintah dan pihak terkait memiliki komitmen kuat untuk berupaya meningkatkan kualitas dan kuantitas angkutan umum, masyarakat dapat menerimanya. Kondisi ini sempat terjadi pada KRL Jabodetabek lima tahun silam. Ketika mulai ada pembenahan, banyak pihak menolak bahkan demo di sejumlah stasiun. "Tapi, dengan berjalannya waktu, pelayanan makin bagus, publik akhirnya banyak beralih menggunakan KRL," ujar Djoko.