REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Kepolisian Bambang Widodo Umar menilai polisi tidak semestinya langsung menyebut nama 'Muslim Cyber Army' dalam kasus penyebaran hoaks yang diduga dilakukan oleh kelompok The Family MCA. Meskipun, seandainya nama kelompok tersebut adalah benar MCA.
Menurut Bambang, atribusi kata 'Muslim' dalam kasus tersebut harusnya tidak perlu dilakukan. Dengan pernyataan seperti itu, kata Bambang, tentu ada 'muslim' yang tidak menyebar berita hoaks merasa tercederai lembaganya.
"Sebaiknya disebutkan saja inisial individunya, jangan lembaganya (muslim)," kata Bambang dalam pesan tertulis yang diterima Republika.co.id, Selasa (13/3).
Menurut Bambang hal tersebut sudah menunjukkan bahwa pelaku penyebar berita hoaks sudah tertangkap. Demikian pula seandainya ada individu dari lembaga lain tertangkap yang bukan muslim, tidak perlu juga disebut lembaganya. Dalam perspektif sosiologi hukum, tidak mengatribusikan lembaga lebih baik dilakukan.
"Dalam hukum pidana, pejabat polisi tidak menyebut lembaga tidak salah karena suatu lembaga juga tidak bisa dituntut secara hukum," kata dia.
Bambang menambahkan, tugas Polri tidak hanya sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai pemelihara Keamanan dan Ketertiban Masyarakat. Polri juga bertugas memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat seperti tertuang di Pasal 13 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Maka itu, setiap pernyataan yang disampaikan kepada msyarakat harus dipertimbangkan secara masak dan diperhitungkan bagaimana efeknya pernyataan itu dalam kehidupan masyarakat di Indonesia yang sangat heterogen.
"Hal itu adalah untuk menjaga jangan sampai menyinggung perasaan muslim lain yang jumlahnya jutaan di Indonesia yang seharusnya dilindungi atau dijaga jangan sampai menimbulkan keresahan dalam masyarakat," kata Bambang menambahkan.