REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Kamar Pengawasan Mahkamah Agung (MA) Sunarto menyatakan hakim Pengadilan Negeri Tangerang Wahyu Widya dan panitera pengganti Tuti Atika yang diamankan dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK dipastikan dinonaktifkan sementara. Hakim dan Panitera PN Tangerang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penerimaan suap.
"Sudah kami siapkan, SK-nya sudah dibuat, begitu siapapun kena OTT kami akan keluarkan SK pemberhentian sementara dan digaji 50 persen dari gaji pokok sampai ada putusan berkekuatan hukum tetap, tapi kalau tidak terbukti, akan kami rehabilitas pulihkan nama baiknya," kata Sunarto dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Selasa (13/3).
Wahyu Widya dan Tuti Atika ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana penerimaan suap Rp30 juta terkait putusan perkara perdata wanprestasi.
"Kami mewakili MA mengucapkan terima kasih kepada KPK yang telah membantu MA ikut melakukan pembersihan aparatur MA yang punya karakter tidak terpuji, kami memberikan apresiasi sangat tinggi karena KPK konsisten dengan janji-janji dan tekadnya untuk selalu menjaga integritas hakim," tambah Sunarto.
Sunarto mengaku bahwa MA selama ini sudah berupaya untuk memperbaiki sistem dan meski setiap sistem yang dicipkatan ada kelemahan-kelemahan.
"Perubahan di MA sudah sangat signifikan tapi masih ada aparatur yang keluar dari komitmen sehingga menodai profesinya, dan secara sitemik ini ternyata dilakukan oleh ketua majelis, sedang anggotanya tidak terlibat, aparatur yang tidak bisa diubah dibina sudah seharusnya ada penindakan yang tegas," tambah Sunarto.
Juru bicara MA Suhadi menyatakan sudah banyak regulasi yang diambil MA untuk mencegah perbuatan menyimpang antara lain mengeluarkan Perma No 7, 8, 9 tahun 2016 dan Maklumat MA No 1 tahun 2017 yang menyatakan tidak ada toleransi aparatur pengadilan yang melakukan pelanggaran.
"Dengan kejadian seperti ini nilainya kecil kok mau menanggung risiko mengorbankan karirnya sendiri, nama baik dan nama baik lembaga, oleh sebab itu kejadian seperti ini menjadi peringatan seluruh aparatur pengadilan diambil pelajaran yang berharga agar tidak terjadi hal-hal yang sangat meruntuhkan kepercayaan masyarakat," tambah Suhadi.
Menurut Sunarto, baik ketua pengadilan maupun panitera pengadilan sudah melakukan pembinaan setiap dua minggu sekali tapi ternyata belum mempan untuk pencegah perbuatan penerimaan uang tersebut.
Menurut Juru Bicara Komisi Yudisia Farid Wjadi, sepanjang 2017, KY merekomendasikan penjatuhan sanksi kepada 58 hakim yang dinyatakan terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
Namun, tidak semua rekomendasi sanksi ini langsung ditindaklanjuti dengan berbagai alasan.
Sekadar perbandingan, isu suap/gratifikasi pada lembaga peradilan dari sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH) sejak 2009, kasus suap dan gratifikasi cukup mendominasi hingga sekarang. Dari 49 sidang MKH yang telah dilaksanakan, ada 22 laporan karena praktek suap dan gratifikasi, yaitu sekitar 44,9 persen.
Praktik suap dan isu jual beli perkara ini juga selalu menghiasi sidang MKH setiap tahun. Selain itu, dapat dicatat sejak 2012 terdapat 28 orang di lingkungan peradilan yang terjerat penangkapan KPK. Dari 28 orang itu 17 orang hakim dan 9 orang panitera/pegawai pengadilan.