REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Perdana Menteri (PM) Palestina Rami Hamdallah dikabarkan telah berbicara melalui telepon dengan pemimpin politik senior Hamas Ismail Haniya pada Selasa (13/3) tentang ledakan yang menyerang konvoi perdana menteri tersebut. Keduanya setuju bahwa Israel berada di balik ledakan yang terjadi di wilayah yang dikuasai Hamas tersebut.
Israel merupakan penerima manfaat utama atas kejadian itu. Namun juru bicara Otoritas Palestina Youssef al-Mahmoud membantah melalui kantor berita Palestina WAFA bahwa telah terjadi pembicaraan melalui telepon antara kedua pejabat tersebut.
Ledakan itu melukai beberapa petugas keamanan, namun tidak melukai Hamdallah, saat dia berkunjung ke Jalur Gaza. Seorang koresponden Aljazirah di lokasi kejadian melaporkan ledakan terjadi tidak lama setelah konvoi Hamdallah melewati pos pemeriksaan Erez yang dikendalikan Israel, yang diketahui orang Palestina sebagai Beit Hanoun, di Gaza utara.
Sementara itu Hamas membantah terlibat dalam ledakan tersebut. Mereka mengatakan akan meluncurkan sebuah penyelidikan untuk menemukan orang-orang yang berada dibalik serangan tersebut dan membawanya ke pengadilan. Kepala Keamanan Hamas Tawfiq Abu Naim telah diberi tanggung jawab untuk memimpin penyelidikan tersebut.
Hamdallah, yang memimpin pemerintah Otorita Palestina yang berbasis di Ramallah, tampil ditelevisi langsung pada peresmian pabrik pengolahan air limbah di Gaza. Tak lama kemudian, dia kembali ke Ramallah dimana dia tampak tidak terpengaruh saat menyampaikan sebuah pidato singkat di luar kantornya.
Dia mengatakan tujuh pengawalnya terluka dalam serangan tersebut dan mereka dirawat di rumah sakit di Ramallah. "Ini (serangan) tidak mewakili patriotisme, tindakan pengecut yang tidak mewakili rakyat kita, juga bukan mewakili rakyat Gaza," kata Hamdallah.
Kepala Intelijen Otoritas Palestina Majed Faraj juga ikut dalam konvoi yang diserang tersebut.
Fatah, partai politik Tepi Barat yang dipimpin Presiden Palestina Mahmoud Abbas, menyebut insiden tersebut sebagai serangan teroris dan menyalahkan Hamas. "Serangan ini adalah upaya untuk membunuh semua upaya rekonsiliasi. Ini adalah langkah berbahaya yang bertujuan untuk menyebarkan kekacauan dan pertengkaran di antara orang-orang kami," ujar Munir al-Jaghoub, yang memimpin departemen informasi Fatah di Kantor Mobilisasi dan Organisasi.
"Kami menuntut agar Hamas mempercepat penyelidikannya. Perkembangan tersebut telah membuktikan bahwa Hamas telah benar-benar gagal dalam memberikan keamanan diGaza, sama seperti gagal dalam memberikan kehidupan yang layak untuk rakyat kami di jalur Gaza," tuturnya menambahkan.
Sementara menurut juru bicara parlemen Hamas Ahmed Bahar mengatakan ledakan tersebut adalah kejahatan yang ditujukan untuk menyabotase upaya rekonsiliasi. Juru bicara Kementerian Dalam Negeri Gaza Iyad al-Buzom mengatakan bahwa tindakan menyalahkan memiliki dimensi politik.
"Di sini, di Gaza, kami mengambil semua tindakan pengamanan untuk menyambut semua konvoi dan delegasi dan terutama perdana menteri saat memasuki Gaza. Beberapa tersangka ditangkap beberapa saat yang lalu, dan sebuah investigasi untuk mengetahui siapa yang berada di balik ledakan tersebut sedang berlangsung," tuturnya.
Seorang analis politik yang berbasis di Gaza mengatakan ada beberapa pihak yang diuntungkan dari ledakan ini. "Kami akan mendengar Fatah mengatakan beberapa anggota Hamas tidak menginginkan rekonsiliasi, dan juga kami akan mendengar bahwa Hamas mengatakan ini bisa menjadi serangan palsu oleh dinas keamanan Fatah," ujarnya.
"Orang-orang yang akan membayar harganya adalah rakyat Palestina sendiri. Otoritas Palestina dapat memberlakukan lebih banyak tindakan hukuman melawan Jalur Gaza, dan sangat penting bahwa Hamas menangkap orang-orang yang berada di belakang serangan sesegera mungkin. Ledakan ini akan berakibat pada orang-orang di Gaza."
Hamas dan Fatah adalah dua partai politik utama Palestina. Kedua pihak menandatangani sebuah kesepakatan rekonsiliasi pada Oktober 2017.
Ini mengakhiri satu dekade pembagian yang melibatkan dua pemerintah paralel yang beroperasi di Gaza dan Tepi Barat. Kesepakatan untuk membentuk pemerintah persatuan itu ditandatanganidi ibu kota Mesir Kairo pada 13 Oktober, namun upaya untuk mengimplementasikan kesepakatan tersebut telah menghadapi hambatan.