REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis beranggapan, perguruan tinggi harus membukan ruang dialog menyoal kebijakan melarang penggunaan cadar di lingkungan kampus. Hal itu mengomentari kebijakan IAIN Bukittinggi, Sumatra Barat yang meliburkan kegiatan mengajar seorang dosen bercadar.
"Seperti di Yogyakarta (UIN Sunan Kalijaga), perlu meniru di Yogyakarta. Di dunia perguruan tinggi membuka ruang dialog," kata dia kepada Republika.co.id, Rabu (14/3).
Dosen Kajian Wilayah Timur Tengah Islam di Universitas Indonesia (UI) itu mengingatkan, perguruan tinggi adalah tempat berkumpulnya para akademisi. Dengan demikian, menurut dia, sangat mungkin menciptakan ruang dialog dan diskusi menyoal kebijakan kampus.
Cholil mengatakan, dalam ruang diskusi, pihak kampus bisa menggambarkan kriteria pakaian sopan maupun tidak. Terkait pandangan cara berpakaian tertentu yang mencerminkan radikalisme, pihak kampus harus memiliki kriteria jelas.
Terkait penonaktifan seorang dosen di IAIN Bukittinggi, Cholil mengingatkan, permasalahan yang ada hanya berkaitan dengan pakaian, bukan menyoal kriminalitas maupun asusila. Dengan demikian, menurut dia, kurang tepat memberikan sanksi tindakan penghentian kegiatan mengajar.
"Sehingga tindakannya bukan tindakan penghentian. Sebaiknya membuka dialog, apalagi perguruan tinggi kan," ujar Cholil.
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, Sumatra Barat menerbitkan, imbauan bagi dosen dan mahasiswinya untuk tidak mengenakan cadar di lingkungan akademik. Hal ini dituangkan dalam Surat Edaran tertanggal 20 Februari 2018 yang ditandatangani Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Bukittinggi.
Kebijakan itu berdampak pada penonaktifan pengajar Bahasa Inggris di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Hayati Syafri. Dosen tersebut dianggap melanggar disiplin berpakaian bagi dosen. Hayati diketahui mengenakan cadar sejak 2017.