REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Dosen Bahasa Inggris di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi Hayati Syafri membantah kekhawatiran kampus tentang pilihannya bercadar. Kampus sebelumnya mengimbau seluruh mahasiswi dan dosen tidak bercadar karena khawatir pemakai cadar ingin menunjukkan tingkat keislaman mereka paling sempurna.
"Saya tidak merasa paling baik dan paling saleh dalam menjalankan syariat Islam. Saya cuma ingin diberi izin bercadar di kampus karena kampus adalah miniatur dan contoh bagi kehidupan di masyarakat," kata Hayati, Rabu (14/3).
Polemik soal cadar memang masih berlanjut di IAIN Bukittinggi, Sumatra Barat. Akibat bersikukuh mengenakan cadar, Hayati terpaksa diminta libur dari aktivitas mengajar sejak awal semester ini. Meski begitu, pimpinan kampus justru menampik anggapan melarang penggunaan cadar bagi mahasiswi dan dosen di lingkungan akademik. Kepala Biro Administrasi Umum Akademik dan Kemahasiswaan IAIN Bukittinggi Syahrul Wirda menegaskan, imbauan yang diterbitkan kampusnya sesuai dengan kode etik yang disepakati seluruh civitas academica.
Syahrul menyebutkan, sejak 2017 IAIN Bukittinggi sudah menjalankan langkah persuasif bagi mahasiswi dan dosen bercadar untuk mengikuti ketentuan berbusana sesuai kode etik kampus. Poin yang menjadi bahan pertimbangan kampus, lanjutnya, adalah upaya menghindari justifikasi penggunaan cadar menunjukkan tingkat keislaman yang paling sempurna bagi seorang Muslimah. Ia juga menyebutkan pengenaan cadar tidak diperintahkan dalam ajaran Islam.
"Kadang yang kami takutkan, mereka posisikan diri yang bercadar itu yang benar. Itu enggak mau kita. Jangan justifikasi orang yang tidak bercadar belum sempurna Islamnya," kata Syahrul menjelaskan.