REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf berpendapat seharusnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan tanda tangannya di dalam lembar pengesahan Undang-Undang MD3. Sebab, menurut dia, Presiden melalui menterinya juga turut dalam pembahasan pasal-pasal tersebut bersama dengan DPR sebelum disahkan.
Kendati demikian, lanjutnya, aturan UUD juga masih membolehkan Presiden untuk tidak menandatanganinya. Namun, secara hukum, undang-undang tersebut akan tetap berlaku.
"Demi hukum, UU berlaku setelah 30 hari tidak ditandatangani oleh Presiden. Tapi memang itu seharusnya tidak boleh digunakan, mengapa? Karena memang Presiden kan melalui menterinya ikut serta mengenai (pembahasan) itu kan. Nah karena ikut sertanya dari Presiden, maka seharusnya UU ini ditandatangani, tapi di UUD masih membolehkan tidak ditandatangani secara hukum dia berlaku," jelas Asep saat dihubungi Republika, Rabu (14/3).
Meskipun tak ditandatangani Presiden, masyarakat masih dapat mengajukan uji materi terhadap UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi (MK) setelah undang-undang itu efektif berlaku. Menurut dia, permohonan uji materi ke MK ini menjadi salah satu cara yang paling cepat bagi masyarakat.
Langkah lain yang dapat dilakukan pemerintah untuk menganulir undang-undang ini yakni dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mengoreksi pasal-pasal yang dinilai kontroversial oleh publik setelah UU MD3 disahkan dan diundangkan.
"Judicial review, tidak ada pilihan lain yang paling cepat selain itu. Perppu cepat, tapi masalahnya kan apakah Presiden mau mengeluarkan itu," katanya.
Dan langkah terakhir yang dapat ditempuh yakni dengan mengajukan revisi terbatas terkait UU MD3 itu. Lebih lanjut, Asep menilai, belum ditandatanganinya lembar pengesahan UU MD3 ini merupakan sikap Jokowi yang mengakomodasi penentangan dari masyarakat.