REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wasiat adalah satu tradisi yang mengakar dalam sejarah peradaban manusia. Penulisan wasiat tidak sekadar bermakna penyampaian pesan, tetapi juga sebagai penghubung lintas generasi dan peralihan kekuasaan.
Dalam kamus Barat, wasiat dikenal dengan banyak istilah. Di antaranya, will, testament, atau last will. Encyclopedia Britannica mengungkap, wasiat setidaknya sudah dipraktikkan sejak zaman Yunani kuno.
Menurut sejarawan Yunani yang hidup antara 46-120 Masehi, Plutarch, surat wasiat mulai diperkenalkan di Athena pada abad keenam sebelum Masehi (SM).
Negarawan Solon (638-558 SM) disebut-sebut sebagai tokoh Athena pertama yang memberikan kekuatan hukum terhadap wasiat, terutama yang berhubungan dengan status kepemilikan harta.
Sebelum era Solon, kata Plutarch, masyarakat Athena tidak diizinkan membuat wasiat. Semua harta kekayaan orang yang meninggal otomatis menjadi milik keluarga yang ditinggalkan.
Namun, Solon kemudian mengubah aturan tersebut dan mengizinkan orang yang akan menghadapi kematian untuk membuat wasiat dan memberikan hartanya kepada siapa pun yang dia senangi.
Kendati demikian, kata Plutarch lagi, Solon juga membuat beberapa aturan atau syarat terkait hukum wasiat. Di antaranya, yang berhak membuat wasiat adalah warga Athena yang merdeka, bukan budak ataupun orang asing. Syarat lainnya, pembuat wasiat minimal harus berumur 20 tahun.
Masih menurut Encyclopaedia Britannica, surat wasiat pada zaman Yunani kuno biasanya ditandatangani di hadapan beberapa saksi dan dibubuhi segel sebagai bentuk konfirmasi. Di Athena, beberapa hakim juga sering terlibat dalam proses tersebut.
Sejumlah filsuf Yunani diketahui pernah membuat wasiat sebelum kematian mereka. Di antaranya adalah Aristoteles (384-322 SM), Lyco Troas (299-225 SM), dan Theophrastus (371-287 SM). “Salinan surat wasiat mereka dapat dijumpai dalam karya Diogenes Laertius, seorang penulis biografi filsuf-filsuf Yunani yang hidup pada abad ketiga silam,” ungkap Encyclopaedia Britannica.
Hukum tentang wasiat juga diadopsi masyarakat Romawi kuno. Awalnya, para pembuat wasiat diperkenankan untuk menyatakan keinginan terakhirnya secara lisan di hadapan tujuh orang saksi. Namun, pada masa-masa selanjutnya, aturan tersebut diubah. Setiap wasiat wajib dibuat dalam bentuk tertulis untuk menghindari risiko kelupaan dari para saksi.
Salah satu pemimpin masyhur Romawi yang pernah membuat wasiat tertulis adalah Gaius Julius Caesar (100-44 SM). Dalam wasiatnya tersebut, Caesar menunjuk cucu dari saudara perempuannya, Octavianus Augustus, sebagai pewaris gelar kepemimpinan dan seluruh harta bendanya.
“Caesar juga menulis, seandainya Octavianus meninggal sebelum dirinya maka yang akan mewarisi segala yang dimilikinya adalah Marcus Junius Brutus, anak dari perempuan simpanannya,” ungkap buku The Histories of Appian yang dipublikasikan Loeb Classical Library (1913).
Praktik penulisan wasiat juga dijumpai dalam peradaban Cina kuno. Hukum yang berlaku semasa Dinasti Tang (618-907) dan Song (960-1279) tidak hanya memberi ruang kepada seseorang untuk membuat wasiat, tapi juga mengatur soal penyelesaian sengketa terkait masalah tersebut. Beberapa raja Cina pada waktu itu juga membuat wasiat untuk menentukan pewaris takhta kerajaannya.
“Pada era Dinasti Song, hukum yang mengatur tentang wasiat telah dibangun dan dipraktikkan dalam sistem peradilan yang kuat,” tulis Feng Yingying dalam disertasinya, A Comparative Study of Tang and Song Testamentary Inheritance System, yang menjadi koleksi perpustakaan Southwest University of Political Science & Law, Chongqing, Cina.