REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha
Pada 1-10 Februari 2018 lalu, tiga partai Islam – PAN, PKB, dan PKS – diundang Partai Komunis Tiongkok (PKT) untuk mengunjungi Tiongkok. Wartawan Republika, Nasihin Masha, ikut diundang dalam perjalanan tersebut. Berikut ini laporannya.
Menuju The Chinese Dream
A Hakam Naja, dari Partai Amanat Nasional (PAN), dengan lugas bertanya: “Orang banyak menilai bahwa Tiongkok adalah negeri dengan dua sistem atau one country two systems.” Maksudnya, secara politik menggunakan sistem komunisme, namun secara ekonomi menerapkan sistem kapitalisme. Hakam mengajukanpertanyaan itu saat berdialog dengan Dirjen International Department of the Communist Party of China (IDCPC), Yuan Zhibing, Kamis (8/2), di Beijing.
Pertanyaan itu tak dijawab dengan narasi langsung, tapi dengan memberikan ilustrasi. “Saat Amerika Serikat dilanda krisis beberapa waktu lalu, mereka menggelontorkan dana dalam jumlah besar ke Wallstreet. Kami justru menggelontorkan dana itu ke sektor pertanian. Nilainya 600 triliun yuan,” katanya. Dengan jawaban itu ia hendak membantah penilaian bahwa negeri itu menganut dua sistem. Mereka tetap negara dengan satu sistem, sistem komunis.
Penjelasan itu mengingatkan saat Indonesia didera krisis pada 1997-1998, Indonesia menggelontorkan dana untuk konglomerat lebih dari Rp 600 triliun, yang disebut dana BLBI, biaya penyehatan perbankan, dan semacamnya. Saat itu orang menyebutnya sebagai biaya krisis. Dana itu ternyata digangsir lagi dan dibawa lari keluar negeri. Seiring itu, semua utang konglomerat diambil alih sebagai utang negara. Perusahaannya diambil alih BPPN dan setelah sehat dijual lagi. Namun pembelinya para konglomerat itu juga melalui perusahaan tunggangan, dengan menggunakan dana gangsiran BLBI maupun dana gangsiran sebelumnya yang mengakibatkan Indonesia terkena krisis. Jika caranya begitu, siapapun bisa menjadi konglomerat.
Jika merujuk pada pernyataan Presiden Tiongkok, Xi Jinping, one country two systems itu merujuk pada Tiongkok daratan dan pulau-pulau yang dulunya dikuasai Inggris dan Portugal – yaitu Hongkong dan Macao – yang kemudian dikembalikan lagi ke pemerintah Tiongkok. Bahkan dalam hal ini termasuk juga Taiwan. Tiongkok daratan tetap dengan sistem komunis, sedangkan pulau-pulau itu tetap dengan sistem kapitalis. Jadi one country two systems itu tidak merujuk pada situasi di Tiongkok daratan.
Dalam menghadapi krisis seperti yang dijelaskan Zhibing, Tiongkok punya cara yang berbasis pada sistem, budaya, dan potensi nasionalnya. Kini, Tiongkok menjadi kekuatan ekonomi dunia yang mulai mengancam dominasi negara-negara Barat. Namun Zhibing tak sependapat jika Tiongkok akan segera menggeser dominasi Amerika Serikat. “Teknologi kami masih ketinggalan 50 tahun dibandingkan dengan Amerika Serikat,” katanya. Memang dari GDP, Tiongkok mulai berupaya mengejar Amerika Serikat. Saat ini (2017) GDP Tiongkok 12,25 triliun dolar AS. Di bawah Xi Jinping, terjadi lonjakan luar biasa. Saat dia naik menjadi presiden pada awal 2013, GDP Tiongkok baru mencapai 8,56 triliun dolar AS. GDP perkapita Tiongkok pada 2017 adalah 8.836 dolar AS. Sedangkan GDP Amerika Serikat pada 2017 adalah 19,739 triliun dolar AS. Tiongkok menempati urutan kedua setelah AS.
Namun GDP hanya salah satu faktor. Masih banyak faktor lainnya, seperti sains dan teknologi, industri, sumberdaya manusia, dan sebagainya. “Secara rata-rata, dengan menghitung semua faktor, kami mungkin tertinggal 20 tahun dibandingkan dengan Amerika Serikat,” ujar seorang diplomat Tiongkok.
Kongres ke-19 PKT pada Maret 2017 lalu, Tiongkok sudah memancangkan target pada 2020 sudah tak ada lagi orang miskin. Lalu pada 2035 Tiongkok menjadi negara modern, dan pada 2050 Tiongkok menjadi negara yang kuat, makmur, demokratis, dan indah. Itulah tekad mereka. Untuk itu mereka membuat rencana aksi yang terukur, sistematis, dan terstruktur.
The Chinese Dream
Saat ini, orang Tiongkok sedang gandrung dengan frasa Chinese Dream, seolah hendak menyaingi American Dream. Chinese Dream dipopulerkan oleh Xi Jinping – kendati pun istilah ini sudah muncul dalam puisi kuno Tiongkok. Namun pada 2010 terbit buku berjudul The Chinese Dream: The Rise of the World’s Largest Middle Class and What It Means to You. Buku yang ditulis Helen H Wang ini kemudian diterbitkan di Tiongkok pada tahun berikutnya. Wang adalah gadis kelahiran Tiongkok yang kini tinggal di Amerika Serikat. Frasa itu kemudian dipopulerkan Thomas L. Friedman, kolumnis The New York Times pada Oktober 2012. Dari situ, majalah Inggris The Economist mengulas frasa Chinese Dream tersebut. Xi Jinping memang terpilih sebagai sekjen PKT pada November 2012. Apakah karena itu Xi Jinping lalu mengadopsinya?
Memiliki mimpi kejayaan bangsa adalah harapan semua pemimpin bangsa. Amerika Serikat adalah negeri yang beruntung karena memiliki frasa ini sejak 1931 – saat itu AS dan dunia baru dilanda krisis dunia yang hebat. Zaman malaise, orang Indonesia menyebutnya sebagai zaman meleset. American Dream berakar pada Deklarasi Kemerdekaan. Amerika memang terlahir sebagai mimpi para pendatang Eropa yang menginginkan kebebasan dan kemajuan, harapan baru. Di negeri asalnya, Eropa, mereka terjebak pada feodalisme yang berkelindan dengan dampak industrialisasi, maupun perang. American Dream telah menjadi etos nasional bangsa Amerika, dan selalu dipidatokan para politisi maupun dipropagandakan melalui film-film Holllywood. American Dream menjadi identik dengan kebebasan, kesetaraan, kemakmuran, dan keceriaan.
Xi Jinping pertama kali menggunakan frasa Chinese Dream pada 29 November 2012, hanya setengah bulan setelah ia terpilih menjadi sekjen PKT. Memang pidatonya yang pertama sebagai sekjen partai ia sama sekali tak menyebutkan frasa itu. Saat itu ia fokus pada visinya tentang “karakteristik orang Tiongkok” (Baca tulisan berikutnya). Frasa Chinese Dream itu ia ucapkan saat pidato pada pameran yang diberi judul “Jalan Menuju Pembaruan (The Road to Rejuvenation). Karena itu pidatonya diberi judul: “Menggapai Pembaruan adalah Mimpi Orang Tiongkok”. Setelah pidato itu, Xi secara konsisten terus menggelorakan Chinese Dream di berbagai kesempatan, terutama di sepanjang tahun 2013.
Presiden Xi mengaitkan Chinese Dream dengan tahun-tahun yang dinilai bersejarah, seperti 5.000 tahun peradaban Tiongkok, 100 tahun kelahiran RRT (2049), dan 100 tahun kelahiran PKT (2021). Namun apa sebenarnya Chinese Dream? “Setiap orang harus memiliki satu cita ideal, ambisi, dan mimpi. Kita semua sekarang bicara tentang Chinese Dream,” kata Xi. Menurutnya, apa yang dikerjakan seseorang hanya tercapai jika negara dan bangsa melakukan hal yang sama. “Sejarah menunjukkan bahwa masa depan dan cita-cita seseorang selalu terkait dengan seberapa dekat dengan cita-cita dan masa depan suatu negara atau bangsa,” katanya. Chinese Dream itu sendiri ia sebut sebagai negara Tiongkok yang modern, sejahtera, kuat, demokratis, unggul dalam budaya, dan harmonis. “Hal itu dicapai pada 2049,” katanya. Sedangkan tahun 2021, Tiongkok baru mencapai negara sejahtera pada tingkat moderat.
Aging Population, Tuntutan Kebebasan
Li Ye, deputi Ditjen Luar Negeri Pemerintah Otonom Ningxia, mengenang masa-masa sulit saat dia kecil. “Makan harus berbagi dan berhemat. Sulit sekali makan enak,” kata master kebijakan publik lulusan Australia National University tersebut. Keluarganya sangat miskin, dan kenyataan itu merupakan keadaan umum masyarakat Tiongkok saat itu. “Anda pasti tak menemuinya,” katanya menengok ke Chenchen Zhang, koleganya yang masih belia. “Ya saya tak menemuinya,” kata Chenchen.
Apakah Chinese Dream akan tercapai? Seperti kata Yuan Zhibing, perjalanan itu masih jauh. Apakah akan gagal? George Friedman, seperti tertulis dalam bukunya The Next 100 Years, meramalkan, Tiongkok akan menghadapi tuntutan otonomi daerah. Tiongkok adalah negeri komunis yang serba terpusat. Namun seiring meningkatnya kesejahteraan dan pendidikan, maka akan muncul tuntutan kebebasan. Di masa sebelumnya, Tiongkok diguncang aksi demonstrasi besar-besaran di lapangan Tiananmen pada 1989. Mahasiswa menuntut demokratisasi. Rezim saat itu bertindak tegas. Ada yang menyebutkan sekitar 3.000 orang mati. Belajar dari tragedi itu, Tiongkok melakukan reformasi. Tiongkok menjadi lebih terbuka. Apalagi sejak muda Deng Xiaoping – pemimpin Tiongkok saat itu – terkenal dengan pernyataannya bahwa tak peduli kucing hitam atau kucing putih, yang penting bisa menangkap tikus. Dari reformasi itu muncul penilaian bahwa Tiongkok adalah one country two system.
Friedman meramalkan ke depan tuntutan perubahan seperti pada 1989 itu tak lagi dari pusat, tapi akan datang dari daerah.
Selain itu, kebijakan pembatasan kelahiran untuk mengerem laju pertumbuhan penduduk mengakibatkan Tiongkok akan menghadapi problem aging population – jumlah penduduk tuanya makin besar dan jumlah penduduk usia produktifnya makin berkurang. Menuanya usia rata-rata penduduk Tiongkok juga dipicu oleh usia harapan hidup yang makin panjang. Semua itu akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Pada 1987, persentase penduduk usia produktifnya mencapai 63,8 persen. Sedangkan persentase penduduk yang berusia di atas 65 tahun hanya 4,2 persen. Karena itu, pertumbuhan ekonomi dalam kurun 1987 hingga 2007 rata-rata 10 persen. Nah, pada 2025 nanti, persentase penduduk yang berusia 65 tahun ke atas sudah mencapai 14 persen. Atas dasar itu, berdasarkan estimasi OECD, pertumbuhan ekonomi Tiongkok akan turun menjadi 6,6 persen pada periode 2011-2030 dan menjadi 2,3 persen pada periode 2030-2060.
Dampak tuntutan otonomi daerah akan ditentukan oleh seberapa kuat pemerintah pusat, maka aging population akan ditentukan oleh inovasi teknologi dan efisiensi kelembagaan.