REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Arab Saudi akan turut mengembangkan senjata nuklir jika saingan utamanya, Iran, masih melakukan hal tersebut. Pernyataan yang dikemukakan oleh Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman tersebut meningkatkan peluang perlombaan senjata nuklir di Timur Tengah, yang telah banyak mengalami konflik.
"Arab Saudi tidak ingin memiliki bom nuklir, tapi tanpa diragukan lagi jika Iran mengembangkan bom nuklir, kami akan mengikutinya secepat mungkin," kata Pangeran Mohammed dalam sebuah wawancara dengan CBS, pada Kamis (15/3).
Pangeran Mohammed juga meremehkan kekuatan Iran. Dia mengatakan Iran sangat jauh tidak layak untuk bisa menjadi saingan Arab Saudi. Di sisi lain, juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Bahram Qasemi bereaksi keras atas komentar itu dan menyebut Mohammed sebagai seorang pria yang naif dan tidak memiliki gagasan politik.
"Dia tidak tahu politik selain kata-kata pahitnya karena ia tidak memiliki pandangan ke depan. Ucapannya tidak pantas mendapat tanggapan, karena dia adalah orang yang naif, yang tidak pernah berbicara tanpa kebohongan dan kepahitan," ujar Qasemi, Kamis (15/3).
Pernyataan Pangeran Mohammed juga mendapat komentar dari Israel. Israel telah lama berpendapat, jika Iran mengembangkan senjata nuklir, maka proyek serupa akan diikuti oleh sejumlah negara Arab dan selanjutnya akan membuat kawasan tersebut menjadi semakin tidak stabil.
Rencana Arab Saudi untuk mengembangkan kemampuan energi nuklir adalah bagian dari rencana reformasi yang digagas oleh Pangeran Mohammed. Reformasi bertujuan untuk mengurangi ketergantungan perekonomian Arab Saudi pada minyak.
Pengekspor minyak utama dunia ini sebelumnya mengatakan pihaknya menginginkan teknologi nuklir hanya untuk digunakan secara damai. Namun, Arab Saudi tidak menjelaskan apakah akan memperkaya diri dengan uranium untuk menghasilkan bahan bakar nuklir, sebuah proses yang juga dapat digunakan dalam produksi bom atom.
AS, Korea Selatan (Korsel), Rusia, Prancis, dan Cina telah mengajukan penawaran tender multi-miliar dolar untuk membangun dua reaktor nuklir pertama di negara tersebut. Perusahaan AS biasanya dapat mentransfer teknologi nuklir ke negara lain jika AS telah menandatangani kesepakatan dengan negara tersebut.
Kesepakatan itu akan mencakup persetujuan untuk melakukan pengayaan uranium dalam negeri dan melakukan proses persiapan. Namun, dalam pembicaraan sebelumnya dengan AS, Arab Saudi telah menolak untuk menandatangani kesepakatan apapun terkait memperkaya uranium.
Reaktor membutuhkan uranium yang diperkaya dengan kemurnian sekitar 5 persen. Namun, teknologi yang sama dalam proses ini juga dapat digunakan untuk memperkaya logam berat ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu menjadi senjata.
Hal tersebut menjadi inti perhatian negara-negara Barat dan regional terhadap Iran yang telah memperkaya uranium di dalam negeri. Riyadh menyetujui kebijakan nasional untuk mengembangkan program energi atom pada Selasa (13/3). Hal itu termasuk membatasi semua aktivitas nuklir demi tujuan damai, sesuai batasan yang ditentukan oleh perjanjian internasional.
Kerajaan Arab Saudi yang Muslim Sunni telah berselisih dengan Iran yang Syiah selama beberapa dekade. Dua negara ini telah terlibat dalam beberapa perang dan krisis politik di negata-negara Timur Tengah, termasuk di Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman.
Pangeran Mohammed, yang juga menjabat sebagai Menteri Pertahanan Saudi, tahun lalu mengatakan kerajaan tersebut memastikan akan ada pertarungan di masa depan antara kedua negara. Pernyataan ini menggerakkan Iran untuk menyerang sebagian besar wilayah Arab Saudi kecuali kota suci Mekkah dan Madinah.
Riyadh juga telah mengkritik kesepakatan nuklir Iran pada 2015 dengan sejumlah kekuatan dunia. Dalam kesepakatan itu, sanksi ekonomi terhadap Iran akan dicabut dengan imbalan Iran harus membatasi program senjata nuklirnya. Sanksi AS akan terus berlanjut kecuali Presiden AS Donald Trump mengeluarkan keringanan baru untuk menangguhkannya pada 12 Mei mendatang.