Jumat 16 Mar 2018 15:12 WIB

Kendala Bahasa Jadi Tantangan Muslim Jerman

Ada kekhawatiran kendala bahasa mempengaruhi pemuda yang berniat belajar Islam.

Rep: c08/ Red: Agung Sasongko
Muslim Jerman
Muslim Jerman

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Hari-hari ini, upaya untuk meredam ekstremisme sedang dilakukan oleh banyak negara di dunia, tak terkecuali Jerman. Pemerintan Jerman menilai, salah satu cara penting untuk meredam ekstremisme adalah dengan menerapkan pendidikan agama Islam yang benar. Karena itu, kini Pemerintah Jerman sudah mulai menyejajarkan pendidikan Islam dengan pendidikan agama lain, seperti Kristen dan Yahudi.

“Sebuah pengetahuan tentang filsafat, psikologi, dan teologi Islam adalah penangkal terbaik ekstremisme,” kata Harry Harun Behr, akademisi dari Universitas Frankfurt, seperti dikutip onislam.net, pekan lalu.

Behr yakin, pendidikan agama Islam akan punya arti penting bagi umat Islam dan seluruh warga Jerman secara umum. Ia pun mengapresiasi Pemerintah Jerman yang bersedia mengalokasikan dana sebesar 20 juta euro untuk membangun empat pusat teologi Islam di sejumlah perguruan tinggi terkemuka.

“Menjadi bagian dari sebuah universitas terkenal di dunia berarti Islam tidak lagi berdiri di luar. Kami berdiri sejajar dengan sekolah-sekolah teologi lain,” ujar Kepala Islamic Center di Tübingen University Omar Hamdan.

Menurut dia, memasukkan pendidikan Islam dalam kurikulum sekolah merupakan hal yang sangat penting. Harapannya, tak ada lagi anak-anak muda Eropa yang salah memahami Islam. “Islam bukanlah seperti yang disebutkan oleh kelompok militan ISIS,” ujar dia. Saat ini, ratusan pemuda Eropa telah terpengaruh ideologi ISIS lalu bergabung dengan kelompok radikal tersebut.

 

Kendala bahasa

Bahasa merupakan salah satu persoalan dalam mendekatkan masyarakat Jerman dengan ilmu-ilmu Islam. Kendala itu sangat terasa mengingat sebagian besar dai atau pengkhutbah di negeri ini tidak lahir dan besar di Jerman. Hal ini menimbulkan kekhawatiran, ajaran Islam yang mereka dakwahkan tidak dapat dipahami sepenuhnya oleh kalangan pemuda yang berniat mendalami Islam.

Kurangnya tenaga dai dan kendala bahasa tersebut, menurut Behr, membuat para pemuda yang berminat mendalami Islam rentan dipengaruhi oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab lalu menjerumuskan mereka kepada pemahaman Islam yang ekstrem.

Karena itu, Behr akan berupaya sekuat tenaga agar para mahasiswanya mendapat ilmu Islam yang benar. “Ketika pengkhutbah radikal muncul di suatu tempat, saya yakin para mahasiswa saya akan berdebat dengan orang-orang itu lalu menjelaskan ajaran Islam yang benar.”

Dengan dukungan yang diberikan oleh pemerintah dengan memfasilitasi pendidikan Islam, Behr juga optimistis, pihaknya akan mencetak banyak cendekiawan Muslim yang mampu menjawab semua pertanyaan warga tentang Islam.

“Saya mengajar untuk membuka pandangan dunia agar tidak kaku dan bermusuhan dengan agama lain,” katanya.

Selama ini, lanjut Behr, yang terjadi di Jerman adalah karena tidak adanya pihak yang mampu memberi pencerahan terkait Islam yang selalu dituding sebagai agama penyokong kekerasan dan ekstremisme.

“Hal inilah yang membuat sebagian warga Jerman ikut-ikutan membenci Islam.”

Saat ini, Jerman adalah negara berpenduduk Muslim terbesar kedua di Eropa setelah Prancis. Di Jerman sendiri, Islam merupakan agama terbesar ketiga setelah Protestan dan Kristen Katolik. Data menunjukkan, populasi Muslim di Jerman saat ini mencapai empat juta jiwa, sebanyak  220 ribu orang di antaranya tinggal di ibu kota Jerman, Berlin.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement