REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA — Badan Konservasi Sumber Daya Alam Daerah Istimewa Yogyakarta menggencarkan pelacakan perdagangan satwa dilindungi melalui daring atau media sosial. Sebab, hingga kini perdagangan satwa melalui cara itu masih marak.
"Cara itu (perdagangan satwa melalui daring) sampai sekarang masih marak karena dianggap paling cepat dan mudah," kata Kepala Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Yunita di Yogyakarta, Sabtu (17/3).
Yunita mengatakan selama 2017, BKSDA bersama Polda DIY telah membongkar delapan kasus perdagangan satwa dilindungi yang proses jual belinya dilakukan melalui media sosial. Pada awal 2018 ditemukan kasus perdagangan buaya muara secara daring yang akhirnya dapat digagalkan.
"Bahkan baru-baru ini ada yang mau memperdagangkan lima ekor elang secara online. Kami masih bekerja sama dengan kepolisian untuk melacak itu," kata dia.
Menurut Yunita, strategi perdagangan satwa dilindungi mirip dengan strategi peredaran narkoba di mana penjual dan pembelinya tidak bertemu muka. Oleh sebab itu, dalam penelusurannya memerlukan kehati-hatian dengan melibatkan Polda DIY.
"Dalam memantau dan melacak pelakunya tentu tidak mudah, karena mereka bisa berpindah-pindah," kata dia.
Selain memaksimalkan pengawasan secara daring, menurut Yunita, BKSDA meningkatkan sosialisasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya di kalangan masyarakat. "Peningkatan kesadaran masyarakat terhadap konservasi satwa-satwa dilindungi kami gencarkan mulai dari siswa sekolah dasar," kata dia.
Kendati demikian, ia menilai kesadaran masyarakat Yogyakarta terhadap konservasi satwa dilindungi mulai meningkat. Hal itu, tercermin dari upaya penyerahan lima ekor buaya muara oleh seorang warga Moyudan, Kabupaten Sleman secara sukarela kepada BKSDA DIY pada Januari 2018.
BKSDA DIY, kata dia, akan tetap menggencarkan razia di pasar hewan seperti di Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta (Pasty).