REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pusat Studi Imigrasi Anis Hidayah mengatakan Indonesia tengah mengajukan peninjauan kembali (PK) atas hukuman yang diberikan kepada tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi, Muhammad Zaini Misrin. Namun, Arab Saudi justru mengeksekusi mati Zaini. Oleh karena itu, pemerintah diminta mengirimkan nota protes ke Arab Saudi.
Anis menjelaskan, berdasarkan sumber yang didapat dalam proses hukum yang dijalani Zaini, terdapat tiga penerjemah yang mendampinginya. Salah satu penerjemah, Abdu Aziz tidak ingin mendatangi berita acara pemeriksaan (BAP). Hal itu karena dua penerjemah lainnya tidak menyampaikan sesuai dengan yang seharusnya diterjemahkan. Zaini pun dipaksa untuk mengakui telah membunuh majikannya.
"Nah ini yang oleh pemerintah Indonesia dijadikan bukti baru di mana penerjemah yang bersangkutan mau menjadi saksi dalam proses PK," kata Anis dalam konferensi pers di kantor Migrant Care, Senin (19/3).
Di sisi lain, ada saksi yaitu pembantu majikan Zaini yang terbunuh, Sumiati, yang sama-sama bekerja bersama Zaini. Sumiati pun sempat menyebut bahwa hubungan Zaini dan majikannya tidak bermasalah, sehingga tidak mungkin Zaini tega membunuh. Sayang keinginan pemerintah Indonesia untuk melakukan PK tidak digubris karena Zaini keburu dihukum pancung.
Anis menuturkan, dengan kejadian tersebut pemerintah Indonesia harus mengirimkan nota protes diplomatik. Sebab kejadian itu bukanlah yang pertama kali dilakukan pemerintah Arab Saudi dalam melanggar hak asasi manusia bagi pekerja dari Indonesia.
"Kami mendesak pemerintah Indonesia untuk mengerahkan sumber daya politik dan diplomasi untuk mengupayakan pembebasan ratusan buruh migran yang terancam hukuman mati di seluruh dunia dan melakukan moratorium pelaksanaan hukuman mati di Indonesia sebagai komitmen moral menentang hukuman mati terhadap siapapun," ujarnya.