Senin 19 Mar 2018 18:58 WIB

KPU: Megawati dan SBY Cuti Kampanye Saat Nyapres Lagi

KPU mengatakan Megawati dan SBY tetap mengajukan cuti saat kembali maju di Pilpres

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Bayu Hermawan
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari
Foto: RepublikaTV/Havid Al Vizki
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari mengatakan, para pemain presiden tetap melakukan cuti kampanye saat kembali maju sebagai calon presiden (Capres). Hal ini sebelumnya dilakukan oleh Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Pemilu 2004 dan Pemilu 2009.

"Kami punya pengalaman sebelumnya, ketika Bu Mega (saat itu pejawat) kembali mencalonkan diri sebagai Capres Pemilu 2004, yang bersangkutan cuti kampanye. Kemudian di Pemilu 2009, ketika Pak SBY (saat itu pejawat) juga melakukan cuti ketika kampanye untuk pencapresannya, " ujar Hasyim kepada wartawan di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (19/3) sore.

Hasyim menjelaskan kembali beberapa pasal di UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, yang menjadi rujukan bagi cuti Capres pejawat. Pada pasal 267, menyatakan kampanye Pemilu 2019 dilakukan secara serentak. Selanjutnya, pasal 281 kampanye yang mengikutsertakan presiden dan wakil presiden. Aturan ini juga dilanjutkan di pasal 299, 300 dan 301.

"Pada prinsipnya, kalau seseorang menduduki jabatan presiden kemudian kembali mencalonkan diri kembali punya hak berkampanye. Hanya saja, dalam berkampanye dibatasi, yaitu harus cuti di luar tanggungan negara," tegas Hasyim.

Dia menjelaskan, pada pasal 281, ayat 1 huruf b, cuti di luar tanggungan negara memiliki konsekuensi tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan. Menurut Hasyim, cuti di luar tanggungan negara memang bertujuan agar pejawat tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya.

Terpisah, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan setidaknya ada empat tujuan cuti bagi Capres pejawat. Pertama, menghindari penyalahgunaan wewenang kekuasaan. Kedua, menghindari penyalahgunaan fasilitas jabatan. Ketiga, menghindari penyalahgunaan anggaran.

"Dan terakhir menghindari mobilisasi aparatur sipil negara atau praktik intimidasi karena struktur jabatan yang dimiliki," ujar Titi.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement