REPUBLIKA.CO.ID, STOCKHOLM -- Pemimpin Yahudi di Swedia membela hak komunitas Muslim mengumandangkan azan. Dukungan itu menanggapi dorongan pelarangan azan oleh politikus sayap kanan.
"Mencegah masjid mengumandangkan panggilan untuk shalat, (artinya) merusak integrasi di negara itu," kata Kepala Kelompok Komunitas Yahudi Stockholm, Aron Verstndig dilansir di The New Arab, Selasa (20/3).
Pelarangan itu mengingatkan Verstndig ihwal bagaimana orang-orang Yahudi diperlakukan di Swedia pada abad ke-18. Ia mengatakan histeria warga setempat atas kebiasaan dan budaya imigran Yahudi membawa ketidakstabilan di Swedia.
"Argumen semacam ini telah terjadi sepanjang sejarah di Swedia. Orang datang ke sini, maka ada tuntutan besar yang harus mereka hadapi, dan itu bukan sesuatu yang membantu integrasi," ujar Verstndig.
Dilansir di The Local, pemimpin partai Kristen Demokrat menginstruksikan politikus lokal memberikan suara tidak mengizinkan kumandang azan. Kontroversi tersebut diduga dipicu permintaan sebuah masjid di Kota Vxj, Swedia selatan untuk mendapatkan izin menyiarkan seruan shalat setiap Jumat.
Permintaan di Vxj bukan yang pertama. Sebuah masjid di pinggiran ibu kota sudah menyiarkan azan setiap Jumat.
"Tidak ada ribuan masjid yang meminta seruan untuk shalat di Swedia, hanya satu yang baru-baru ini ditanya dan hal ini muncul, jadi semuanya dibesar-besarkan," ujar Verstndig.
Mayoritas masjid di Eropa tidak menggunakan pengeras suara untuk azan. Umat Muslim memilih mengumandangkan azan di dalam masjid tanpa pengeras suara.
Di tengah meningkatnya sentimen islamofobia dan anti-imigran di Barat karena krisis pengungsi, kelompok politik sayap kanan mengungkit masalah itu. Menurut mereka, gelombang "islamisasi" merayap di Eropa yang berpenduduk mayoritas Kristen.