REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polri masih mempersiapkan Peraturan Kapolri (Perkap) terkait mulai berlakunya Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3). Pembuatan Perkap tersebut menurut Setyo akan diselaraskan dengan UU yang sudah ada.
"Tentunya kita sinkronisasi dengan undang-undang yang telah ada," ujar Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Polisi Setyo Wasisto di Markas Besar Polri, Jakarta, Selada (20/3).
Penyelarasan itu misalnya, dilakukan dengan semua UU yang terkait dengan kinerja dan tugas Polri. Menurut Setyo, Divisi Hukum Polri bertugas melakukan penyelarasan ini.
Setyo menambahkan, Polri tidak menunggu apabila suatu saat muncul pengajuan judicial review atau uji materi pada UU MD3. "Sambil berjalan kita, Kalau nanti misalnya ada perubahan waktu judicial review ya kita rubah lagi," ujar dia.
Setyo enggan berkomentar lebih rinci terkait poin-poin Perkap dan UU MD3 yang akan diselaraskan. "Yang penting kita sekarang siapkan dulu nanti kalau misalnya ada perubahan ya kita ubah," ujar dia.
UU MD3 berisi aturan mengenai wewenang, tugas, dan keanggotaan MPR, DPR, DPRD dan DPD termasuk hak, kewajiban, kode etik serta detil dari pelaksanaan tugas. Aturan ini menggantikan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 mengenai MD3 yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum.
UU ini terdiri atas 428 pasal, dan disahkan awal pada 5 Agustus 2014 oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Revisi terakhirnya disahkan oleh DPR pada Senin, 12 Februari 2018.
Sejumlah pasal di antaranya lekat dengan kinerja Polri. Pasal yang cukup menonjol di antaranya: Revisi Pasal 122 k terkait tugas MKD dalam revisi UU MD3 memuat perihal penghinaan terhadap parlemen berisi tambahan peraturan yang memerintahkan Mahkamah Kehormatan Dewan untuk mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Pada pasal 73, Undang-undang sebelum direvisi menyatakan bahwa polisi membantu memanggil pihak yang enggan datang saat diperiksa DPR. Kini pasal tersebut ditambah dengan poin bahwa Polisi 'wajib' memenuhi permintaan DPR untuk memanggil paksa.
Lalu, pada Pasal 245 pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.