REPUBLIKA.CO.ID,PADANG -- Hayati Syafri meraih titel doktor di bidang Pendidikan Bahasa Inggris dari Universitas Negeri Padang (UNP) dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,83. Prestasi ini justru diraih saat pemberitaan soal dirinya sedang santer bermunculan di media, setelah ia diminta libur mengajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi karena keputusannya dalam bercadar.
Hayati mengaku gaya berbusananya dengan menggunakan cadar sama sekali tidak mengganggu proses pembelajarannya di jenjang doktoral. Bahkan, lanjutnya, sidang doktoral dilaluinya tanpa hambatan dengan mengenakan cadar.
Sidang doktoral yang dijalani Hayati juga dijalani tak lama setelah keputusannya menggunakan cadar di akhir 2017 lalu. Meski sempat merasa khawatir keputusannya akan sulit diterima pihak UNP, Hayati justru diterima dengan terbuka. "Saat sidang doktoral kemaren saya pakai cadar dan Alhamdulillah tidak ada larangan dan halangan," katanya, Selasa (20/3).
Hayati lantas menceritakan perjuangannya dalam mengejar titel doktor dengan prestasi cum laude. Baginya, kunci dalam mengejar ilmu adalah selalu optimal dalam menjalani perkuliahan, gigih, dan menerima tantangan yang diberikan pembimbing dan penguji.
Program S3 yang dijalani Hayati juga ditempuh dengan sumber biaya secara mandiri, tanpa ada sokongan dari institusi tempatnya mengabdi saat ini. "Dan terpenting adalah tidak gampang mengeluh. Karena ini semuanya proses," katanya.
Hayati sebelumnya menempuh pendidikan sarjana di Universitas Andalas dan melanjutkan studi master di UNP. Dengan memperoleh gelar doktor, Hayati mengaku ingin mengubah citra cadar yang terlanjut negatif di sebagian masyarakat. Hayati bertekad ingin menunjukkan bahwa cadar jauh dari cap radikal atau terorisme.
"Saya ingin orang melihat cadar bukan sebagai pakaian ekstremis dan teroris. Nikmat ketika awalnya orang awalnya sinis ke kita dan akhirnya tersenyum. Jadi saya ingin membuktikan bahwa meski pakai cadar, gerakan mata kita bisa menjelaskan bahwa saya tersenyum juga," kata Hayati.
Hayati menyebutkan, dukungan yang ditujukan untuknya dalam menggunakan cadar justru berdatangan di UNP, tempatnya menjalani studi doktoral. Di sana, Hayati menceritakan, banyak orang yang memberikan selamat dan mendukungnya. Saat sidang doktoral pun, dosen pembimbing dan penguji tidak mempermasalahkannya.
"Di UNP orang justru menyelamati. 'Selamat hijrah ya Bu Hayat.' Nah di IAIN saya justru terkejut. Saya kira IAIN yang akan mendukung ternyata tidak," kata Hayati.
Hayati memandang, larangan yang dikeluarkan IAIN Bukittinggi untuk bercadar di dalam kampus berimbas negatif baginya. Bila sebelumnya orang-orang di sekitarnya sudah mulai terbiasa dan akrab dengan cadar, larangan itu seolah merubuhkan citra positif yang ia bangun.
"Dulu sebelum Umi diberikan sanksi, dulu masih dibolehkan. Saya solat di masjid, ibu-ibu mulai terbiasa dengan cadar. Namun sejak dilarang, mereka malah mikir. Nah kan gara-gara cadar kan. Ndak bagus," katanya.
Hayati merasa, kekhawatiran yang ditimbulkan oleh IAIN Bukittinggi justru menjadi bahan bakar gelombang kekhawatiran di tengah masyarakat. Bila di tempat orang berilmu seperti IAIN Bukittinggi saja banyak pihak khawatir terhadap cadar, lanjut Hayati, maka tak heran masyarakat juga ikut khawatir. "Anggapan ini yang harus kita ubah," katanya.