REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro mengatakan pemilihan capres maupun cawapres oleh partai pengusung jangan sekadar memperhitungkan jumlah suara. Ia menilai tugas dan kemampuan cawapres harus betul-betul diperhitungkan.
Saat ini, nama calon presiden yang paling kuat sebagai capres adalah Joko Widodo (Jokowi). Sejumlah nama pun sering disebut berbagai pihak untuk menjadi cawapres mendampingi petahana tersebut.
Dua nama yang terakhir disebut oleh lembaga survei Indo Barometer adalah Ketua Umum PBNU Said Aqil dan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsudin. Terkait hal tersebut, Siti Zuhro pun mempertanyakan apakah kedua nama itu benar-benar sesuai menjadi wakil presiden atau hanya sebagai pengumpul suara.
"Ini mencari wakil presiden atau mencari vote gather? Kalau yang dicari semata-mata pengumpul suara, nanti setelah menang goodbye, lalu tidak diberikan tugas-tugas penting," kata Siti, ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (20/3).
Menurut Siti, wakil presiden nantinya seharusnya merupakan seseorang yang melengkapi tugas presiden. Bukan sekadar sosok yang mampu meningkatkan elektabilitas dari capres yang diusung suatu partai.
Siti kemudian mencontohkan yang dilakukan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Pemilu 2009. Ia memilih Budiono sebagai wakilnya, karena ingin membagi tugas dalam bidang ekonomi sementara dirinya lebih berfokus dalam memimpin negara.
Memenangkan pilpres, kata Siti, yang menentukan menang kalah adalah calon presidennya. Adapun, cawapres hanya menyempurnakan kerja dan tidak menjadi faktor nomor satu. "Ternyata SBY tidak lanjut dengan JK, dan ketika pecah kongsi dia dengan sangat meyakinkan memilih sendiri dan menang," kata dia.