REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Pemerintah Rusia menilai Inggris tidak menunjukkan indikasi untuk bekerja sama menyelesaikan kasus penyerangan Sergei Skripal. Skripal merupakan warga Inggris sekaligus mantan agen mata-mata Rusia yang diserang menggunakan agen saraf novichok pada awal Maret lalu di Salisbury.
"Tidak ada yang berubah. Kami melihat tidak ada dorongan untuk bekerja sama. London terlibat dalam melemparkan tuduhan terhadap kami," kata Duta Besar Rusia untuk Inggris Alexander Yakovenko pada Selasa (20/3), dikutip laman kantor berita Rusia TASS.
Ia mengatakan, setelah terjadinya insiden penyerangan Skripal, warga negara, media, dan diplomat Rusia di Inggris mendapat ancaman. "Ada ancaman tidak hanya terhadap koresponden, tetapi juga diplomat dan warga Rusia," ujarnya.
"Saya percaya kita dihadapkan dengan sikap permusuhan. Apa yang membuat kita sangat khawatir adalah histeria dalam pers Inggris semakin kuat sehingga ada ketegangan di sekitar warga Rusia yang datang, tinggal, dan bekerja di sini," kata Yakovenko menambahkan.
Skripal merupakan seorang pensiunan kolonel yang sempat berdinas di badan intelijen militer luar negeri Rusia (GRU). Pada 2004, Dinas Keamanan Rusia (FSB) menangkapnya karena dituding membocorkan informasi rahasia kepada Badan Intelijen Rahasia Inggris (MI6).
Pada Agustus 2006, pengadilan militer Rusia menjatuhkan hukuman penjara 13 tahun terhadap Skripal. Dalam vonisnya, hakim menyebut Skripal terbukti melakukan pengkhianatan tingkat tinggi dalam bentuk spionase. Semua gelar dan penghargaan yang pernah didapatkannya pun ditarik kembali oleh Rusia.
Empat tahun setelah menjalani hukumannya, pada Juli 2010, Skripal diampuni oleh mantan presiden Rusia Dmitry Medvedev. Dia kemudian dibebaskan bersama tiga orang lainnya untuk ditukar dengan 10 mata-mata Rusia yang ditangkap FBI.
Pertukaran mata-mata ini dilakukan di Bandara Wina, Austria. Setelah pertukaran tersebut, Skripal diberi perlindungan di Inggris. Skripal dianggap lebih penting daripada dua mata-mata lainnya yang juga dibawa ke Inggris. Sejak saat itu, Skripal disebut diberi identitas baru, rumah, dan uang pensiun.
Kemudian pada awal Maret lalu, Skripal dan putrinya yang baru saja tiba dari Rusia, Yulia (33 tahun), ditemukan terkulai tak berdaya di luar pusat perbelanjaan di Salisbury. Keduanyan diduga diracun menggunakan agen saraf novichok.
Kejadian ini memicu krisis diplomatik antara Inggris dan Rusia. Inggris menuding Rusia menjadi dalang aksi penyerangan Skripal. Salah satu dasar tuduhan ini adalah agen saraf yang digunakan untuk menyerang Skripal, yakni novichok, pernah dikembangkan Uni Soviet pada tahun 1971.
Tuduhan tersebut telah dibantah tegas oleh Rusia. Presiden Rusia Vladimir Putin mengklaim negaranya tidak lagi memiliki senjata agen saraf tersebut. Semua senjata kimia Rusia, kata Putin, telah dihancurkan di bawah pengawasan organisasi internasional.