Rabu 21 Mar 2018 19:37 WIB

Facebook Bocor, Indonesia Perlu Kebut UU Perlindungan Data

Insiden ini dinilai menjadi momentum tetap mengevaluasi Facebook.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Karta Raharja Ucu
Facebook
Foto: EPA
Facebook

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dunia sedang dikejutkan oleh kabar bocornya data pengguna Facebook sebanyak lebih dari 50 juta akun ke pihak ketiga. Kabar ini menyebar setelah ada pengakuan dari internal Cambridge Analytica bahwa mereka mendapatkan data dari Facebook dan digunakan oleh klien mereka.

Salah satu klien Cambridge Analytica adalah Donald Trump yang terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat pada akhir 2016. Kabar tak sedap ini membuat saham Facebook turun sebanyak 6,8 persen dan diperkirakan akan terus turun.

Selain itu, Parlemen Uni Eropa memanggil Mark Zuckerberg untuk hadir di sidang Parlemen Uni Eropa di Brussles, Belgia. Parlemen Inggris tak mau ketinggalan meminta penjelasan langsung dari Zuckerberg.

Dalam keterangannya, Rabu (21/3), pakar keamanan siber Pratama Persadha menjelaskan, ini adalah momentum tepat untuk mengevaluasi Facebook sebagai media sosial terbesar di dunia. Facebook juga pemilik Instagram dan Whatsapp, aplikasi perpesanan instan terbesar di dunia saat ini.

"Facebook ini memang sudah diketahui lama memanfaatkan data para penggunannya untuk kepentingan bisnis," kata Pratama. Namun, skandal Facebook dan Cambridge Analytica ini menjadi ramai karena menyeret nama Presiden AS Donald Trump.

Cambridge Analytica adalah konsultan politik saat Donald Trump maju pilpres AS pada akhir 2016 lalu. Selain isu keikutsertaan Rusia dalam membantu kemenangan Trump, kini Facebook juga langsung dihantam karena dianggap membiarkan dan membantu kemenangan Trump.

Menurut kepala lembaga riset keamanan siber CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) ini, selama masa pemilu banyak konten hoaks dan bernada rasis yang muncul di beranda Facebook para pemilih di AS.

"Facebook sendiri membuka data pengguna ke pihak ketiga memang sangat mudah, bahkan sampai pada tahun 2014, Facebook masih mempunyai program friend permission untuk pihak ketiga sehingga cakupan data yang diambil menjadi sangat banyak," katanya menerangkan.

Program friend permission adalah sebutan untuk API (Application Programme Interface) milik Facebook yang diberikan ke pihak ketiga. Dengan API ini, pihak ketiga tidak hanya mendapatkan data dari pemilik akun tertarget, tetapi juga teman-temannya di Facebook.

Ini memungkinkan Cambridge Analytica memperoleh data dalam jumlah yang sangat banyak. Pemberitaan kali ini pun kembali mengentak dan menimbulkan pertanyaan terkait keamanan pengguna.

Pratama menjelaskan, peristiwa Facebook ini memperjelas bagaimana pentingnya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi harus segera diselesaikan. "RUU Perlindungan Data Pribadi harus dikebut," kata dia.

Selama ini, pemerintah sulit meminta pertanggungjawaban Facebook karena instrumen dan payung hukumnya tidak ada. Berbeda dengan negara-negara Eropa yang langsung mengirimkan undangan kepada Zuckerberg.

RUU Perlindungan Data Pribadi tidak masuk dalam Prolegnas 2018. Meski DPR dan Kemenkominfo mendorong, Kemenkumham lebih memilih RUU lainnya untuk dijadikan prioritas selesai pada 2018 ini.

"Pemerintah ini juga sedang mengumpulkan data masyarakat, salah satunya lewat e-KTP dan registrasi kartu prabayar," kata pria asal Cepu, Jawa Tengah, ini. Ada juga rencana membagi data tersebut untuk keperluan tertentu, seperti administrasi dan bisnis.

"Tentu secara bersamaan masyarakat perlu dilindungi dengan UU Perlindungan Data Pribadi sehingga apa yang boleh dan tidak menjadi jelas," kata Pratama.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement