REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Ekonomi Politik Ichsanuddin Noorsy mengkritik cara pemerintah yang kian gencar impor jelang tahun-tahun politik. Menurut Noorsy pembenaran impor garam secara besar-besaran 3,7 juta ton bukan sekadar mendikte pasar tapi juga cara paling cepat oleh oknum memperoleh uang politik.
"Maka muncul pembenaran impor. Padahal impor adalah salah cara mendikte pasar sekaligus cara paling cepat memperoleh uang," kata Noorsy kepada wartawan, Rabu (21/3). Jelang tahun politik menurutnya seringkali menjadi momentum untuk melakukan impor.
Menurut Noorsy, impor garam seperti halnya komoditas lain akan menjadi sumber pendapatan bagi pebisnis sekaligus kalangan politisi. Dia mencontohkan, di akhir pemerintahan Soeharto, pemerintah tidak konsisten dalam menyediakan garam beryodium, yang diikuti tingginya permintaan garam rumah tangga dan industri. Hal itu membuat impor garam dilakukan.
"Ironi, negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia mengalami kekurangan garam," ujarnya.
Dia mengatakan orientasi pemerintah untuk memperoleh pendapatan fiskal telah mengabaikan produktivitas dalam negeri. Pemerintah tidak memiliki cetak biru perindustrian. Akibatnya, kualitas produk garam lokal kalah bersaing.
Kondisi tersebut diperparah dengan tata ruang pantai yang tanpa kepastian dan kejelasan. Petani garam, seperti juga petani tanaman palawija atau padi, dinilai tidak punya harapan hidup yang layak jika terus menambang garam. "Kata kuncinya ada pada sikap pemerintah, mau berpihak pada masyarakat atau mau berpihak kepada pemburu rente," ujarnya.