Kamis 22 Mar 2018 08:30 WIB

Impor Komoditas Dicurigai untuk Dulang Uang Politik

Pemerintah dinilai mengabaikan produksi garam lokal.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Nur Aini
Pekerja menyelesaikan pembuatan garam gandu tradisional di Kampung Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat, Kamis (22/2). Akibat Pemerintah memutuskan impor garam sebanyak 3,7 juta ton secara bertahap untuk kebutuhan garam industri, menyebabkan pelaku usaha industri kecil garam sulit memasarkan barang
Foto: Adeng Bustomi/Antara
Pekerja menyelesaikan pembuatan garam gandu tradisional di Kampung Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat, Kamis (22/2). Akibat Pemerintah memutuskan impor garam sebanyak 3,7 juta ton secara bertahap untuk kebutuhan garam industri, menyebabkan pelaku usaha industri kecil garam sulit memasarkan barang

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Ekonomi Politik Ichsanuddin Noorsy mengkritik cara pemerintah yang kian gencar impor jelang tahun-tahun politik. Menurut Noorsy pembenaran impor garam secara besar-besaran 3,7 juta ton bukan sekadar mendikte pasar tapi juga cara paling cepat oleh oknum memperoleh uang politik.

"Maka muncul pembenaran impor. Padahal impor adalah salah cara mendikte pasar sekaligus cara paling cepat memperoleh uang," kata Noorsy kepada wartawan, Rabu (21/3). Jelang tahun politik menurutnya seringkali menjadi momentum untuk melakukan impor.

Menurut Noorsy, impor garam seperti halnya komoditas lain akan menjadi sumber pendapatan bagi pebisnis sekaligus kalangan politisi. Dia mencontohkan, di akhir pemerintahan Soeharto, pemerintah tidak konsisten dalam menyediakan garam beryodium, yang diikuti tingginya permintaan garam rumah tangga dan industri. Hal itu membuat impor garam dilakukan.

"Ironi, negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia mengalami kekurangan garam," ujarnya.

Dia mengatakan orientasi pemerintah untuk memperoleh pendapatan fiskal telah mengabaikan produktivitas dalam negeri. Pemerintah tidak memiliki cetak biru perindustrian. Akibatnya, kualitas produk garam lokal kalah bersaing.

Kondisi tersebut diperparah dengan tata ruang pantai yang tanpa kepastian dan kejelasan. Petani garam, seperti juga petani tanaman palawija atau padi, dinilai tidak punya harapan hidup yang layak jika terus menambang garam. "Kata kuncinya ada pada sikap pemerintah, mau berpihak pada masyarakat atau mau berpihak kepada pemburu rente," ujarnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement