REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Pimpinan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi menemui perwakilan organisasi masyarakat (ormas) Islam yang mengajukan tuntutan pencabutan kebijakan pembatasan cadar di lingkungan akademik. Pertemuan dilakukan pada Rabu (21/3) malam, melibatkan Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) IAIN Bukittinggi mewakili kampus dan Ketua Front Pembela Islam (FPI) Buya Busra Khatib Alam mewakili ormas Islam.
Pertemuan tersebut sekaligus menjawab ultimatum ormas Islam kepada pihak kampus untuk memberikan respons dalam kurun waktu 3 x 24 jam sejak Senin (19/3) lalu. Pertemuan malam tadi merupakan yang pertama setelah pengajuan tuntutan dilakukan oleh ormas Islam pada Senin (19/3) lalu. Sayangnya, belum ada hasil final yang disepakati antara kedua pihak dalam pertemuan mendadak malam tadi.
Buya Busra menjelaskan, kedatangan Dekan FTIK IAIN Bukittinggi Nunu Burhanuddin disambut oleh Ketua Gerakan Nasional Penyelamat Fatwa Ulama (GNPF-Ulama) Bukittinggi dan Agam Ustaz Abdullah Mahmud serta pejabat sekretaris Ustaz Ridho Abu Muhammad. Sejak pukul 19.00 WIB, lanjut Buya Busra, perwakilan kampus dan perwakilan ormas Islam melakukan dialog yang cukup intens.
"Kesimpulan semalam, belum bisa menjawab menerima atau tidaknya surat tanggapan dari kampus," kata Buya Busra, Kamis (22/3).
Dia mengatakan, perwakilan ormas Islam akan kembali melakukan dialog dengan kampus pada Ahad (25/3) mendatang. Pertemuan selanjutnya akan dihadiri oleh seluruh aliansi masyarakat yang bergabung dalam menolak kebijakan IAIN Bukittinggi yang membatasi penggunaan cadar di lingkungan akademik.
Sejumlah ormas dan elemen masyarakat yang ikut hadir di antaranya, Forum Masyarakat Minangkabau (FMM), Majelis Mujahidin (MM), Majelis Ulama Nagari (MUNA), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAM), dan Front Pembela Islam (FPI).
"Kami akan berdialog lagi pada 25 Maret nanti, dihadiri seluruh aliansi yang ikut mengajukan tuntutan," ujar Buya Busra.
Sebelumnya, pihak kampus IAIN Bukittinggi memang memilih melakukan mediasi dalam merampungkan polemik kebijakan pembatasan cadar di lingkungan akademik. Kepala Biro Administrasi Umum dan Kemahasiswaan IAIN Bukittinggi, Syahrul Wirda, menyebutkan, pihaknya memilih melakukan mediasi dengan ormas Islam yang sempat mengajukan tuntutan.
Syahrul mengingatkan, sejak awal rektorat tidak pernah menerbitkan surat larangan untuk bercadar. Yang dijalankan kampus, menurutnya, adalah meminta dosen dan mahasiswi menjalankan kode etik berbusana di dalam kampus. Sedangkan ketika di luar kampus, penggunaan gaya busana dikembalikan lagi kepada masing-masing individu.
"Jadi kalau diminta cabut aturan, yang akan kami cabut itu apa? Kami tidak melarang. Yang kami minta proses belajar mengajarnya sesuai kode etik. Kalau di luar kampus, silakan," kata Syahrul.
Pihak rektorat, ujar Syahrul, masih menggelar musyawarah internal kampus untuk merumuskan respons atas tuntutan ormas Islam. Ia sendiri menyayangkan, bila ada ancaman atau intimidasi terhadap kampus yang sedang berupaya menjalankan kewenangannya.
IAIN Bukittinggi, lanjut Syahrul, masih percaya bahwa jalan mediasi masih bisa dilakukan untuk mencapai kesepakatan dengan ormas Islam. Ia menegaskan, pihak kampus juga tidak ingin adanya perpecahan di antara umat Islam, khususnya di Bukittinggi. "Upaya kami, melakukan mediasi," ujar dia.