REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Temuan Forum Lintas Iman dan Agama (LIGA) Cegah Stunting di lapangan menunjukkan stunting atau kekurangan gizi kronis yang berdampak pada pertumbuhan balita tidak hanya ditemukan pada balita dari kalangan berpendapatan rendah tapi juga rentan terjadi pada anak-anak dari kalangan menengah.
"Sekitar 29 persen balita kelas menengah juga mengalami stunting. Hal ini disebabkan pola asuh yang salah," kata Sekretaris LIGA Cegah Stunting Hudallah saat melakukan kunjungan media ke Kantor Berita Antara di Jakarta, Jumat (23/3).
Hudallah mengatakan, pola asuh yang salah di kalangan menengah tersebut bisa saja terjadi karena bukan orang tua sendiri yang mengasuh anak, tapi menyerahkan pengasuhan pada pengasuh.
Atau karena kurangnya pemahaman terhadap pemberian ASI ekslusif hingga bayi berusia dua tahun dan lebih memilih memberikan susu formula.
Stunting disebabkan kekurangan gizi dalam waktu yang lama yaitu pada 1.000 hari pertama kehidupan balita. Selain karena kekurangan gizi, juga bisa disebabkan infeksi bakteri atau kuman serta pola hidup yang tidak bersih.
Stunting di Indonesia masih cukup tinggi yaitu mencapai 37 persen atau sekitar sembilan juta balita mengalami stunting berdasarkan data Riskesdas 2013.
Stunting dapat berdampak pada perkembangan otak dan fisik yang terhambat, sulit berprestasi dimana intelegensinya 11 poin lebih rendah dari anak normal, rentan terhadap penyakit da ketika dewasa mudah menderita kegemukan.
Menurut Hudallah, intervensi yang mulai dilakukan di beberapa daerah oleh Forum LIGA Cegah Stunting seperti aktivasi posyandu, mendorong kelas ibu menyusui dan ibu hamil, kunjungan ke rumah untuk memastikan pola asuh yang benar dan intervensi pada sanitasi.
Untuk itu pemerintah melalui Bappenas akan menggelar Summit Stunting pada 26-28 Maret untuk meneguhkan kembali komitmen semua pihak untuk menangani stunting.