REPUBLIKA.CO.ID, BUKITTINGGI — Dosen IAIN Bukittinggi yang diliburkan karena menggunakan cadar, Hayati Syafri, tak ingin menjadi korek api dan minyal tanah. Ia tak ingin konflik yang dihadapinya meluas dan melibatkan banyak elemen masyarakat.
"Saya tak ingin menjadi korek api dan minyak tanah. Saya ingin ada mediasi yang mewakili saya sebagai korban sekaligus masyarakat yang menaruh harapan besar kepada kampus," katanya dalam musyawarah akbar, Ahad (25/3).
Hayati hadir dalam musyawarah akbar organisasi masyarakat (ormas) Islam, yang membahas pembatasan cadar di kampus. Hayati sempat mengungkapkan pandangannya dalam polemik ini.
Hayati mengingatkan bahwa dirinya saat ini berdiri di tengah konflik. Di satu sisi statusnya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di IAIN Bukittinggi, tapi dia juga korban atas aturan kampus yang membatasi penggunaan cadar.
Baginya, posisi ini harus berhati-hati dalam menyampaikan pendapat. Apalagi ia mengaku tak ingin polemik ini justru memunculkan konflik yang lebih luas dan melibatkan lebih banyak elemen masyarakat.
Pekan depan, Gerakan Nasional Penyelamat Fatwa Ulama (GNPF-Ulama) Bukittinggi dan Agam akan menjajal dialog lanjutan dengan pimpinan IAIN Bukittinggi. Ormas Islam juga masih menanti hasil pemeriksaan Ombudsman RI yang sudah mendatangi kampus pekan lalu.
Sekretaris Jenderal GNPF-Ulama Bukittinggi dan Agam, Ridho Abu Muhammad, mengungkapkan bahwa sejak awal pihaknya mengutamakan langkah persuasif kepada pihak kampus untuk mau mengindahkan tuntutan mereka. Sayangnya, menurut Ridho, IAIN Bukittinggi tidak memberikan respons sesuai tuntutan yang mereka ajukan.