REPUBLIKA.CO.ID, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi hingga kini masih bersikukuh menjalankan kebijakannya tentang cadar. Meski berkali-kali menegaskan bahwa tidak ada aturan tertulis soal larangan bercadar, namun kenyataan di lapangan ada seorang dosen yang menerima sanksi 'libur mengajar' karena keputusannya dalam bercadar. Mahasiswi yang sebelumnya bercadar kini juga mencoba mempertahankan keyakinannya dengan menggunakan masker.
Peliknya polemik soal cadar juga membuat Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin turun langsung ke kampus. Namun usai melakukan dialog dengan kampus, Lukman menegaskan, posisinya yakni menghormati otonomi kampus dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Makna yang muncul, Lukman berada dalam posisi yang sama dengan IAIN Bukittinggi terkait kebijakan pembatasan cadar di lingkungan akademik.
"Selaku Menteri Agama saya harus menghormati kemandirian kampus dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Saya hargai, ini dalam rangka meningkatkan proses belajar mengajar yanga ada dalam kampus," kata Lukman usai berbicara dengan jajaran pimpinan IAIN Bukittinggi akhir pekan ini.
Pihak kampus sebelumnya juga menjajal untuk membuka ruang dialog dengan perwakilan organisasi masyarakat (ormas) Islam yang sempat mengajukan tuntutan pencabutan kebijakan soal cadar. Sebagai jawaban, pihak kampus memutuskan mengganti kata 'cadar' dalam surat edaran yang terbit pada 20 Februari 2018 lalu.
Dalam surat tanggapan yang ditandatangani Rektor IAIN Bukittinggi Ridha Ahida pada 20 Maret 2018 tersebut, pihak kampus memperbarui imbauan dalam poin yang mengatur tentang tata cara berpakaian mahasiswi. Kata 'cadar' dihilangkan dan diganti dengan 'penutup wajah'.
Lebih rincinya, aturan tersebut diubah menjadi, bagi perempuan untuk memakai pakaian longgar, tidak tipis dan tidak pendek, memakai jilbab/mudawarah dalam, memakai sepatu dan kaos kaki, serta tidak memakai penutup wajah pada layanan atau kegiatan akademik di lokal, perpustakaan, labor, dan kantor administrasi.
Sebelumnya dalam surat edaran yang sempat viral di media sosial, aturan tersebut dituangkan dalam kalimat, perempuan memakai pakaian agak longgar, jilbab tidak tipis, dan tidak pendek, tidak bercadar/masker/penutup wajah, memakai sepatu dan kaos kaki.
'Permainan kata-kata' yang dilakukan IAIN Bukittinggi ini kemudian ditanggapi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatra Barat, Gusrizal Gazahar. Bagi Buya Gusrizal, upaya untuk bermain kata yang dilakukan kampus tak akan mengubah makna sesungguhnya.
Buya Gusrizal mengingatkan, IAIN Bukittinggi bahwa yang dituntut masyarakat adalah penghentian pembatasan bercadar di lingkungan akademik dan pengembalian hak civitas academica IAIN Bukittinggi yang memilih untuk bercadar. Sayangnya, lanjut Buya Gusrizal, kampus malah berputar-putar dengan konsep 'tidak dilarang di lapangan atau di luar kampus'. Imbauan kampus soal cadar disebut berlaku di perpustakaan, saat belajar mengajar berlangsung, dan proses pelayanan administrasi.
"Apakah menurut saudara-saudara serendah itu daya jangkau nalar masyarakat, sehingga bisa diputar-putar dengan kata-kata," ucap Buya Gusrizal yang sempat menyampaikan surat pengunduran dirinya sebagai dosen IAIN Bukittinggi pekan lalu.
Buya Gusrizal memberi analogi, sikap kampus dalam bermain kata-kata seperti 'tingkah bunyi gendang tak berubah, hanya tariannya saja yang berbeda'. Buya Gusrizal memandang, pemaksaan keputusan tersebut mencerminkan ketidaksukaan pihak-pihak terkait terhadap cadar adalah prinsip yang tak bergeser.
"Kalau hanya membiarkan mereka bercadar di jalan kampus dan lapangan, itu sama saja dengan tidak mengizinkan. Memakai masker dan berhelm pun diizinkan karena siapa pula yang bisa mengawasinya," jelas dia.
Bagi Buya Gusrizal, pihak kampus bisa saja lebih bijak dalam mengatur civitas academica yang bercadar. Misalnya, dalam kondisi yang mendesak bisa saja kampus meminta yang seseorang yang bercadar menunjukkan identitas dirinya dengan tetap menghormati sikap dan pilihannya dalam bercadar.
"Jangan anggap ini kalah dan menang. Sebab, tuntutan masyarakat itu bukan intervensi. Tapi, menunjukkan kepedulian dan sayang mereka kepada institusi saudara-saudara," katanya.
Dosen Hayati ikut bersuara
Hayati Syafri, dosen bercadar yang tidak diberikan jam mengajar oleh kampus, ikut memberi tanggapan soal penggantian kata 'cadar' dengan 'penutup wajah'. Hayati memandang, penutup wajah maknanya justru lebih luas dibanding cadar. Artinya, perubahan aturan ini malah semakin memberatkan karena masker juga tergolong penutup muka.
"Padahal, masker itu pun digunakan untuk alasan-alasan tertentu seperti masalah kesehatan. Kalau dilarang berarti dak cuma melarang kita menjalankan keyakinan, tapi juga melarang kita mereka yang menjaga kesehatannya," kata Ummi Hayat, panggilan akrab Hayati.
Hayati mengajukan satu opsi kepada kampus, terkait kekhawatiran kampus dalam hal mengenai identitas seseorang yang bercadar. Menurutnya, kampus memiliki hak untuk meminta seseorang membuka cadar demi kepentingan tertentu dan bersifat darurat. "Tentunya kita yang bercadar akan membukanya asalkan dihadapkan yang semuhrim kalau memungkinkan," ucap Hayati.
Pihak kampus IAIN Bukittinggi hingga kini masih membuka pintu dialog dengan ormas Islam dan elemen masyarakat yang mengajukan protes. Kepala Biro Administrasi Umum Akademik dan Kemahasiswaan, Syahrul Wirda, menjelaskan, pihaknya mengedapkan dialog dibanding upaya-upaya lain yang bersifat menekan.
IAIN Bukittinggi, lanjut Syahrul, bersedia melakukan mediasi dengan pihak-pihak yang ingin berdialog. Meski begitu ia mengingatkan, sikap Menteri Agama sebelumnya yang menghormati otonomi kampus dalam membuat aturan. "Hingga kini kami usahakan dialog," ujarnya.